Ketua Panitia Lokakarya yang juga Ketua Bidang Seni Budaya MUI Provinsi Jakarta, KH. Lutfi Hakim. Foto: istimewa.
Ade Hapsari Lestarini • 6 October 2025 22:36
Jakarta: Komisaris Utama PAM JAYA, Prasetyo Edi Marsm mengungkapkan perjalanan panjang pengelolaan Perusahaan Air Minum (PAM) JAYA yang selama puluhan tahun dikuasai swasta.
Dalam lokakarya bertajuk "Menakar Masa Depan Air di Jakarta, Akankah Menjadi Air Mata?” yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jakarta bekerja sama dengan PAM JAYA, di Jakarta, Senin, 6 Oktober 2025, Prasetyo menceritakan proses akuisisi dua perusahaan swasta, Palyja dan Aetra, untuk memastikan pelayanan air bersih merata.
“Masalah PAM itu saya tahu persis. Akhirnya penjajahan selama 25 tahun terlepas dari yang namanya Aetra dan Palyja,” ujar dia.
Prasetyo menjelaskan dana Rp650 miliar untuk akuisisi awalnya sempat berpindah tangan di salah satu bank, baru dikembalikan saat Anies Baswedan menjabat Gubernur DKI Jakarta dan digunakan untuk penyertaan modal pembangunan Stadion Jakarta International Stadium (JIS).
Ia menekankan pentingnya distribusi air bersih bagi warga menengah ke bawah. "Visinya adalah, ke depan sambungkan semua. Menengah ke bawah harus semua terinstalasi," kata Prasetyo.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua I MUI Provinsi Jakarta, KH. Yusuf Aman, menjelaskan air adalah anugerah Allah SWT dan sumber kehidupan yang harus dijaga.
"Air adalah anugerah. Ini berangkat dari firman Allah dalam Surah Al-Anbiya, isi Surah itu berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang,” terang dia.
Yusuf menambahkan, kekurangan cairan dapat menyebabkan dehidrasi, sementara pemberian air memiliki nilai ibadah tinggi.
"Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah SWT daripada setetes air yang diberikan, baik kepada manusia maupun makhluk lainnya," tutur dia.
Yusuf juga menekankan pentingnya menjaga sumber daya air secara budaya, termasuk kearifan lokal masyarakat Betawi.
Sementara itu, Ketua Relawan Kesehatan Indonesia, Agung Nugroho, menyoroti perubahan status PAM JAYA dari Perusahaan Umum Daerah (Perumda) menjadi Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda), yang sering disalahartikan sebagai privatisasi.
"Air adalah anugerah Allah SWT yang paling mendasar bagi kehidupan. Perubahan status PAM Jaya menjadi perseroda bukan hanya momentum strategis yang membawa peluang, tetapi juga tantangan baru," kata dia.
Agung menekankan tarif air tetap diawasi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta.
“Mayoritas saham tetap dikuasai Pemerintah Provinsi Jakarta,” tambahnya sambil menekankan peluang pengelolaan yang lebih profesional dan efisien serta kedaulatan air untuk kepentingan ekonomi daerah.

Transformasi PAM JAYA
Dekan Fakultas Administrasi Negara Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Reza Hariyadi, mengatakan dualitas air sebagai barang publik sekaligus barang ekonomi.
"Ketika air dipandang sebagai barang publik, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan tanpa memandang kemampuan ekonomi masyarakat. Air juga merupakan komoditas ekonomi yang memiliki nilai komersial,” ucapnya.
Reza menegaskan pentingnya akuntabilitas publik dalam transformasi PAM JAYA menjadi Perseroda, agar dapat memenuhi dua fungsi sekaligus, menyediakan layanan publik yang merata dan tetap hidup sebagai entitas bisnis yang kuat.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Provinsi Jakarta, KH. Nurhadi, menyoroti dimensi teologis pengelolaan air. "Ini bukan cuma tanggung jawab institusi, tapi ini tanggung jawab teologis," ujarnya.
Ia menjelaskan tiga pendekatan, Bayani (tekstual, berbasis agama), Burhani (sains dan teknologi untuk kemakmuran rakyat), dan Irfani (tasawuf, maksimalisasi potensi dan manajemen tepat).
Nurhadi menutup dengan menegaskan prinsip utama kebijakan publik. “Ketika bicara tentang kekuasaan pemerintahan, kebijakan pemimpin harus berbasis kemaslahatan rakyat, bukan kemaslahatan pemegang kuasa,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Lokakarya yang juga Ketua Bidang Seni Budaya MUI Provinsi Jakarta, KH. Lutfi Hakim menekankan air sebagai sumber kehidupan yang melampaui aspek material, memiliki makna spiritual, budaya, dan sosial.
“Air adalah sumber kehidupan itu sendiri. Dan itu diakui sejak peradaban manusia dimulai,” ungkapnya.
Lutfi mencontohkan tradisi siraman Jawa, upacara melukat Bali, dan simbol air dalam budaya Betawi, serta menyoroti tantangan privatisasi air di Jakarta. Lutfi menegaskan pentingnya tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab sosial.
“Transformasi PAM JAYA menjadi Perseroda harus dibaca sebagai momentum untuk memperkuat profesionalitas bisnis dan tanggung jawab sosial,” tambahnya.
Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jakarta, KH. Auzai Mahfuzl menekankan air sebagai simbol universal dan peradaban.
“Air ini tidak mengenal agama. Nabi kita bersabda bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan yang harus dipenuhi bersama, bergandengan tangan tanpa memandang keyakinan. Yang pertama adalah air, yang kedua udara, dan yang ketiga adalah api. Tiga hal ini menjadi hak bersama umat manusia,” jelasnya.
Dan dari air, lanjut Auzai, manusia dapat belajar tentang kebersamaan, keadilan, dan kearifan dalam mengelola alam.
"Air bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga sumber strategi, sumber kekuatan, dan sumber peradaban. Dari air, kita belajar tentang kebersamaan, keadilan, dan kearifan dalam mengelola alam,” tuturnya.
Secara keseluruhan, transformasi PAM JAYA dan pengelolaan air bersih di Jakarta mencerminkan sinergi antara kebijakan publik, profesionalisme bisnis, nilai teologis, dan budaya lokal, dengan tujuan akhir memastikan setiap warga memperoleh hak dasar mereka: air bersih yang aman, merata, dan berkelanjutan.