Alam Liar di Sumatra Rentan Timbulkan Bencana Alam

Banjir melanda Aceh. Foto: Istimewa

Alam Liar di Sumatra Rentan Timbulkan Bencana Alam

Ahmad Mustaqim • 6 December 2025 14:04

Yogyakarta: Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwikorita Karnawati mengatakan alam liar, termasuk di Sumatra, memiliki kerentanan bencana alam. Namun demikian, kerentanan itu tidak sebesar yang terjadi pada medio akhir November 2025 lalu.

"Memang alam liarnya rentan menimbulkan bencana tapi bencananya tidak akan sedahsyat saat ini. Terjadi 2003, waktu banjir bandang di Taman Nasional Leuser, waktu itu, dari video yang jadi dokumentasi ada titik longsor secara alamiah pengaruh gempa," ujar Dwikorita pada Sabtu, 6 Desember 2025.

Ia menjelaskan bencana dengan dampak besar di kawasan Taman Nasional Leuser Aceh pernah terjadi dalam periode 50 tahunan. Namun, bencana dengan dampak besar saat ini terjadi lebih cepat.

"(Bencana setiap 50 tahun) kalau itu alamiah, nggak ada yang mengusik. Warga yang usia di atas 50 (tahun) waktu anak-anak memang sudah pernah terjadi tapi dulu di situ belum jadi tempat hunian, dulu masih hutan, belum ada orang," kata Dwikorita.


 


Menurut dia, peristiwa bencana berdampak besar terjadi pada 2003 lalu. Apabila mengacu siklus itu semestinya bencana baru terjadi 2053 mendatang.

"Itu (bencana saat ini) berarti ada aspek non alamiah yang sifatnya memperparah. Saat itu kejadiannya tidak sedahsyat saat ini. DAS (daerah aliran sungai) yang terkena kan banyak, saat itu hanya satu DAS saja," ujar mantan rektor UGM ini.

Dwikorita mengungkapkan aspek non alamiah memperparah bencana, dalam hal ini memperpendek periode. Selain itu, intensitasnya lebih dahsyat dan sebarannya lebih luas.

"Kalau (dugaan penyebabnya karena) pembalakan saya tidak meneliti. Tapi dari satelit bisa kelihatan lahannya terbuka, entah itu karena dibalak, atau dibuka utk permukiman, atau untuk apa," ucapnya.

Operasi pencarian korban banjir bandang dan tanah longsor di Kampung Duren, Desa Batu Godang, Kecamatan Angkola Sangkunur, Kabupaten Tapanuli Selatan. Dok BNPB


Meskipun geologinya rawan, ia mengatakan, kompensasi kerentanan geologi tetap harus dengan pemulihan lingkungan. Ia menegaskan mitigasi bencana tak hanya untuk kawasan yang rentan, namun mencakup pemulihan lingkungan hingga mitigasi secara ekologis atau alamiah.

Wilayah di tiga provinsi terdampak bencana perlu pemetaan ulang. Bekas bencana di lapangan menunjukkan adanya sedimentasi baru di berbagai wilayah DAS yang menunjukkan peta laju air makin melebar.

"(Aliran air) kan mencari jalan lebih rendah. Ini perlu dipetakan ulang. Tata ruang harus disesuaikan dengan tata guna lahan, keputusannya bagaimana kita lihat. Banyak aspek harus diperhitungkan," kata mantan Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tersebut.

Dwikorita menambahkan bencana di tiga provinsi tersebut hanya dipicu dari bibit siklon. Ia memperkirakan apabila siklon sampai sekitar area tersebut bisa berdampak lebih parah dan meluas.

"Perbukitan barisannya hanya di Sumatra, tapi perbukitan curam dan langsung datar itu juga ada di wilayah (Pulau) Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dan setelah November, Desember hingga April (2026), biasanya siklon tumbuh di belahan bumi ekuator. Tinggal menunggu pemicunya. Tak hanya siklon, bibit siklon juga bisa jadi pemicu. Di Tapanuli belum jadi siklon, tapi sudah jadi bencana," tandasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Silvana Febiari)