Perpres Perlindungan Jaksa Menegaskan Posisi Negara

Kejaksaan Agung/Ilustrasi MI

Perpres Perlindungan Jaksa Menegaskan Posisi Negara

Siti Yona Hukmana • 23 May 2025 21:20

Jakarta: Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa. Perpres itu dinilai sebagai pernyataan serius negara dalam membangun sistem hukum yang berkeadilan, aman, dan tidak mudah diintervensi oleh kekuatan non-hukum.

"Perpres ini juga bukan sekadar instrumen administratif, melainkan bagian dari fondasi struktural arsitektur nasional antikorupsi," kata pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi dalam keterangan tertulis, Jumat, 23 Mei 2025.

Haidar menekankan keberanian seorang jaksa tidak boleh berdiri dalam ruang kosong, melainkan ditopang perlindungan sistemik dan kerja sama yang berkelanjutan dengan aparat hukum lainnya. Untuk itu, kata dia, sinergi antara jaksa dan penyidik Polri menjadi poros utama keberlangsungan sistem hukum pidana.
 

Baca: Polri Siap Beri Perlindungan pada Kejaksaan

"Penegakan hukum adalah kerja dua arah. Tanpa Polri sebagai penyidik, jaksa akan kehilangan fondasi. Tanpa jaksa yang kuat dan aman, penyidikan kehilangan arah. Maka Perpres ini memberi ruang, bukan sekadar perlindungan fisik, tetapi juga jembatan sinergi yang makin kokoh antara keduanya,” jelas Haidar.

Haidar memandang Perpres itu menegaskan posisi negara yang tidak hanya ingin menjamin keamanan jaksa dalam menjalankan tugas, tetapi juga memperkuat pola komunikasi dan koordinasi antara jaksa dan Polri. Dengan jaminan perlindungan dari intimidasi dan teror, ia meyakini jaksa kini dapat menjalin sinergi secara terus-menerus, setiap saat, dengan penyidik Polri dalam membangun berkas perkara yang utuh dan tidak terputus.

Di sisi lain, Haidar Alwi secara khusus juga menyoroti kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia melihat Jenderal Listyo Sigit adalah sosok yang konsisten memperkuat profesionalisme, transparansi penyidikan, serta memperkuat hubungan fungsional dengan lembaga penuntutan umum.

“Jajaran Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Sigit sudah menunjukkan kemajuan dalam membuka diri terhadap kontrol dan evaluasi. Ini membuat jaksa lebih nyaman bekerja bersama mereka, tanpa ada kecurigaan sektoral,” tegas Haidar Alwi.

Namun, Haidar Alwi mengingatkan bahwa penguatan Kejaksaan melalui Perpres ini tidak boleh ditafsirkan sebagai peluang dominasi tunggal dalam sistem hukum. Ia menyoroti kekhawatiran sebagian pihak tentang potensi menguatnya dominus litis, yakni kecenderungan jaksa menjadi pemegang kendali tunggal dalam penyidikan dan penuntutan.

Menurutnya, jika perlindungan dan perluasan kewenangan tidak dibarengi dengan pengawasan dan keseimbangan, maka bisa muncul monopoli proses hukum yang merugikan keadilan itu sendiri. Ia menekankan perlindungan tidak boleh berubah menjadi kekebalan, dan penguatan jangan menjadi pemusatan.

"Penegakan hukum harus tetap berjalan dalam kerangka checks and balances. Kejaksaan dan Polri harus saling melengkapi, bukan saling menguasai,” tegasnya.

Lebih lanjut, Haidar Alwi mendorong agar pelaksanaan Perpres ini disertai evaluasi publik dan penguatan koordinasi teknis antar lembaga, bukan menjadi instrumen politik hukum satu arah. Dalam realitas di lapangan, Haidar Alwi menilai bahwa jaksa tidak hanya menghadapi beban pembuktian di pengadilan, tapi juga tekanan dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh proses hukum.

Teror, ancaman terhadap keluarga, dan upaya-upaya intervensi halus menjadi bagian dari risiko jabatan jaksa. Maka itu, kata dia, perlindungan fisik dan psikologis menjadi kebutuhan mutlak, bukan sekadar tambahan.

“Dalam kasus korupsi besar atau perkara strategis lainnya, keberanian jaksa hanya mungkin muncul jika ada jaminan negara. Perpres 66/2025 adalah bentuk konkret negara tidak tinggal diam. Ini bukan hadiah bagi kejaksaan, tapi kewajiban konstitusional,” pungkasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)