Presiden AS Donald Trump menunjukan daftar negara-negara dengan besar tarif yang dikenakan. Foto: EPA-EFE/KENT NISHIMURA /POOL.
Jakarta: Pemerintah Amerika Serikat akan memberlakukan kebijakan tarif resiprokal terhadap 14 negara, termasuk Indonesia, mulai 1 Agustus 2025. Keputusan ini disampaikan Presiden AS Donald Trump melalui surat resmi tertanggal 7 Juli 2025 kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
Pengamat ekonomi politik dari ARSC, Ikhwanul Maarif, menilai kebijakan tersebut masih menyisakan ruang waktu bagi Indonesia untuk mengoptimalkan jalur negosiasi dengan pemerintah AS.
"Keputusan Presiden Trump sebetulnya belum final dan masih membuka ruang negosiasi. Ini momentum bagi Indonesia untuk mengoptimalkan diplomasi ekonomi," kata Ikhwanul dalam keterangannya, Selasa, 8 Juli 2025.
Menurut dia, langkah negosiasi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sejauh ini berjalan cukup baik. Format proposal yang diajukan Indonesia dinilai konstruktif dan bahkan menjadi rujukan bagi beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
"Proposal Indonesia cukup solid. Beberapa negara ASEAN merujuk pendekatan kita sebagai best practice," ujar dia.
Proposal Indonesia mencakup rencana nota kesepahaman (MoU) perdagangan dengan mitra-mitra AS senilai USD34 miliar. Sektor yang disasar antara lain energi, pertanian, dan transportasi udara.
"Langkah ini sangat positif untuk menyeimbangkan neraca perdagangan bilateral. Baik untuk Indonesia maupun AS. Ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo membangun relasi perdagangan yang adil dan seimbang," tutur Ikhwanul.
Ia juga menilai Indonesia masih memiliki peluang untuk merespons situasi global yang dinamis. Ketidakpastian ekonomi dan politik dunia, menurut dia, turut memengaruhi sikap AS dalam menerapkan kebijakan tarif tersebut.
"Ancaman tarif tambahan terhadap negara-negara BRICS harus dibaca sebagai kegamangan Presiden Trump dalam merespons dinamika global. Artinya, ruang negosiasi masih sangat terbuka, termasuk bagi Indonesia," jelas dia.
Keanggotaan Indonesia di BRICS
Terkait dengan keanggotaan Indonesia di BRICS, Ikhwanul menilai hal itu bukan menjadi faktor utama pertimbangan AS dalam kebijakan tarif.
"Negosiasi antara RI dan AS sudah dimulai jauh sebelum Indonesia bergabung dengan BRICS. Jadi, keanggotaan itu bukan variabel kunci dalam kebijakan ini," kata dia.
Ikhwanul juga mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia yang dinilai tenang dan tangguh dalam menghadapi dinamika ekonomi global.
"Diplomasi ekonomi yang cermat, cerdas, dan solid harus tetap menjadi pendekatan utama. Ini penting dalam merespons kebijakan global, terutama di tengah era perang dagang," tutup Ikhwanul.