Permintaan Maaf Diminta Tak Setop Proses Hukum Kekerasan Wartawan di Stasiun Tawang

Mediasi anggota Polri dengan wartawan di kantor berita Antara Jawa Tengah. MI

Permintaan Maaf Diminta Tak Setop Proses Hukum Kekerasan Wartawan di Stasiun Tawang

Tri Subarkah • 9 April 2025 12:40

Jakarta: Dugaan kekerasan yang dialami jurnalis saat peliputan agenda Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Stasiun Tawang, Semarang, diminta terus diusut lewat jalur pidana, Meskipun, terduga pelaku sudah meminta maaf. 

Kekerasan itu diduga dilakukan oleh tim pengamanan Kapolri, Ipda Endry Purwa Sefa, terhadap jurnalis Kantor Berita Antara, Sabtu, 5 April 2025. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak agar perdamaian tidak dijadikan sarana pelanggengan impunitas atas kekerasan yang dilakukan aparat terhadap jurnalis. 

Peneliti ICJR Iqbal Muharam mengatakan intimidasi yang dilakukan Endry mencerminkan rendahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap tugas pers dan perlindungannya sebagaimana yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Aturan itu secara jelas mengatur terkait hukuman bagi setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi jurnalis saat menjalani tugas jurnalistik. Tindakan tersebut juga mencerminkan masih kuatnya pendekatan berbasis kekerasan dalam merespons aktivitas jurnalistik. 

"Pasal 8 UU pers seharusnya dijalankan setiap aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi pewarta yang menjalankan tugas profesi jurnalis, bukan justru menjadi pelaku," terang Iqbal lewat keterangan tertulis, Rabu, 9 April 2025.
 

Baca juga: Anggota Protokoler Kapolri Pelaku Intimidasi ke Wartawan Minta Maaf

Meskipun Ipda Endry sudah meminta maaf kepada jurnalis yang bersangkutan, LBH Pers dan ICJR mengatakan proses etik dan disiplin harus tetap dijalankan sesuai dengan Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Beleid ini mengatur kewajiban anggota Polri untuk bersikap humanis, profesional, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 

Selain itu, ia menekankan kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran serius yang wajib ditindaklanjuti tidak hanya dengan sanksi etik yang tegas, tindakan pelaku juga harus diproses secara hukum pidana. Pelanggaran atas masalah ini dapat diusut lewat Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan, tindakan pemukulan terhadap jurnalis dapat dianggap sebagai penganiayaan karena menyebabkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. 

"Selain itu, Pasal 335 KUHP terkait ancaman kekerasan juga dapat digunakan, ancaman verbal yang dilontarkan kepada para jurnalis bisa dikategorikan sebagai upaya memaksa orang lain melalui ancaman kekerasan," terang Iqbal.

Ia juga menggarisbawahi ketentuan Pasal 52 KUHP, yakni jika kejahatan dilakukan oleh seorang pegawai negeri dalam menjalankan tugasnya (dalam hal ini seorang anggota polisi) hukuman dapat diperberat.

"Tindakan pelaku bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap pelaksanaan hak pers untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi sebagaimana dijamin Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Polri harus melakukan menjalankan penegakan hukum secara profesional dan transparan," jelas Iqbal.

Sebelumnya, peristiwa intimidasi itu terjadi pada saat Kapolri sedang menyapa calon penumpang kereta api. Saat itu, Endry meminta para jurnalis untuk menjauh dengan cara mendorong cukup kasar. Endry juga melakukan tindakan fisik yaitu memukul bagian kepala salah satu jurnalis disertai dengan kalimat, "Kalian pers, saya tempeleng satu-satu."

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)