Pocut Meurah Intan. Foto: Istimewa
Fajri Fatmawati • 10 November 2025 22:06
Banda Aceh: Dalam catatan sejarah perlawanan Aceh melawan kolonial Belanda, nama Pocut Meurah Intan menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati perempuan Aceh. Dikenal sebagai Pocut di Biheue, keturunan bangsawan dari Biheue, Padang Tiji, Kabupaten Pidie ini mewarisi jiwa pejuang yang pantang menyerah.
Kisah kepahlawanannya tercatat dalam insiden heroik tahun 1900. Saat sedang seorang diri, Pocut berpapasan dengan patroli Marsose (pasukan khusus Belanda) beranggotakan 18 orang di bawah pimpinan Letnan TJ Veltman.
Berbeda dari dugaan musuh yang mengira ia akan melarikan diri, Pocut justru mengambil inisiatif menyerang terlebih dahulu. Hanya berbekal pedang dan rencong, ia mengadang pasukan bersenjata lengkap tanpa rasa takut.
Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Dengan gagah berani, Pocut mengayunkan pedangnya dan berhasil melukai beberapa anggota Marsose. Namun, ia juga menerima luka parah di punggung dan bahunya.
"Pertempuran ini menunjukkan keberanian luar biasa seorang perempuan Aceh. Melawan pasukan khusus Belanda sendirian dengan senjata tradisional," jelas Dr. Razali, sejarawan Universitas Syiah Kuala, Senin, 10 November 2025.
Tubuhnya yang berlumuran darah membuat Belanda mengira ia tewas. Mereka meninggalkannya dalam keadaan sekarat di jalanan. Namun, Pocut Meurah Intan berhasil selamat dari lukanya. Mendengar kabar sang srikandi akan kembali memimpin perlawanan, Belanda mengirim utusan untuk mengobatinya.
Tindakan ini bukan didasari rasa kemanusiaan, melainkan strategi untuk memantau dan membatasi geraknya, sekaligus mencegahnya kembali memimpin perlawanan rakyat.
Setelah kondisinya pulih, kekhawatiran Belanda terhadap pengaruhnya membuat mereka mengambil tindakan tegas. Pocut bersama putranya, Tuwanku Budiman, dipenjara di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Pemenjaraan ini tidak mematahkan semangat perlawanan keluarganya. Putranya yang lain, Tuwanku Nurdin, tetap melanjutkan perang gerilya melawan penjajah.
Untuk memutus pengaruh Pocut Meurah Intan secara permanen, Pemerintah Belanda memutuskan mengasingkannya. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 24 tanggal 6 Mei 1905, ia diasingkan ke Blora, Jawa Tengah. Di sanalah ia menghabiskan sisa hidupnya, terpisah dari tanah Rencong dan rakyat yang diperjuangkannya.
Pocut Meurah Intan wafat di pengasingan pada 19 September 1937. Ia dimakamkan di Desa Tegal Sari, Blora. Keberaniannya diakui oleh musuhnya. Belanda menyematkan gelar "heldhaftig" atau perempuan yang sangat berani.
"Gelar dari musuh ini justru menjadi bukti betapa hebat perlawanan yang dilakukan Pocut Meurah Intan," tambah Dr. Razali.
Pemerintah Kabupaten Blora bersama Pemerintah Aceh telah mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuknya. Usulan ini agar perjuangan dan pengorbanan srikandi Aceh ini dikenang sepanjang masa oleh seluruh bangsa Indonesia.