Defisit Perdagangan Tidak Mesti Berarti Buruk, Ini Penjelasannya

Kapal kontainer yang bertujuan ke Rusia, Belanda, 2 Maret 2022. (Jerry Lampen/EPA-EFE)

Defisit Perdagangan Tidak Mesti Berarti Buruk, Ini Penjelasannya

Riza Aslam Khaeron • 5 April 2025 11:52

Washington DC: Setelah Amerika Serikat memberlakukan tarif resiprokal berdasarkan defisit perdagangan bilateral, muncul kembali perdebatan lama: apakah defisit perdagangan selalu buruk? Dalam narasi Presiden Donald Trump, defisit menunjukkan kelemahan ekonomi dan ketidakadilan global.

Namun, menurut para pakar perdagangan, pandangan ini keliru dan menyederhanakan persoalan kompleks.
 

Apa itu defisit perdagangan?

Mengutip The Conversation pada Jumat, 4 April 2025, Profesor Peter Draper dan Dosen Vutha Hing dari University of Adelaide menjelaskan bahwa defisit terjadi "ketika nilai total segala sesuatu yang diimpor dari suatu negara melebihi nilai ekspor ke negara itu". Sebaliknya, surplus adalah ketika ekspor lebih besar dari impor.

Namun, Draper dan Hing menekankan bahwa defisit perdagangan bukanlah tarif. Tarif adalah pajak atas barang impor yang dibayar saat barang melintasi perbatasan, sementara defisit adalah selisih neraca dagang.

Lebih lanjut, Draper dan Hing menggarisbawahi bahwa defisit perdagangan tidak hanya terjadi secara bilateral, tetapi juga bisa dihitung secara global—yakni selisih antara total nilai impor dan total nilai ekspor suatu negara dengan seluruh dunia..
 

Pandangan Trump: defisit adalah kerugian

Trump berpendapat bahwa defisit perdagangan berarti Amerika “kalah” dalam perdagangan. Dalam logika Trump, seperti ditulis Draper dan Hing, "jika lebih banyak uang keluar dari 'rekening' dibandingkan yang masuk, maka itu bisnis yang buruk." Defisit US$200 miliar dianggap Trump sebagai kerugian—uang dan lapangan kerja hilang ke luar negeri.

Trump menyimpulkan bahwa negara-negara lain mengambil keuntungan dari Amerika melalui surplus besar, dan hal ini menghancurkan industri AS. Namun, menurut Draper dan Hing, "hanya sedikit ekonom yang sependapat dengan pandangan Trump."
 

Defisit bisa jadi cermin kekuatan konsumsi

Draper dan Hing menjelaskan bahwa defisit perdagangan sering kali merupakan hasil dari struktur ekonomi dan preferensi konsumen, bukan manipulasi oleh negara asing.

"Perilaku konsumen Amerika adalah pendorong signifikan dari defisit perdagangan AS," tulis mereka. Warga dan pelaku usaha AS membeli produk impor dalam jumlah besar, dari iPhone, TV, pakaian, hingga mainan.

Bahkan, sebagian besar produk itu sebenarnya dibuat oleh perusahaan AS yang memproduksinya di luar negeri. Royalti dari hak kekayaan intelektual yang dihasilkan menjadi surplus besar bagi AS dalam perdagangan jasa—yang tidak dihitung dalam rumus tarif resiprokal.

Sebagian besar barang yang masuk ke AS justru memperlihatkan kekuatan konsumsi dan daya beli warga AS, bukan pelemahan industri. "Perilaku konsumen Amerika adalah pendorong utama defisit perdagangan AS," tegas mereka. Mereka menambahkan, "banyak dari [produk-produk] ini sebenarnya diproduksi oleh perusahaan AS, tetapi dibuat di luar negeri."

Ketika ekonomi AS sedang kuat dan daya beli masyarakat meningkat, impor pun naik secara alami. Dalam banyak kasus, defisit mencerminkan struktur ekonomi terbuka dan minat konsumen terhadap produk global.

Lebih lanjut, artikel tersebut menyoroti bahwa Australia telah mengalami defisit perdagangan selama puluhan tahun, termasuk terhadap AS, namun tetap menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Ini membuktikan bahwa defisit bukanlah sinyal kelemahan ekonomi.
 
Baca Juga:
Terpopuler Ekonomi: Daftar Barang-Barang yang Tidak Dikenakan Tarif Impor AS
 

Alasan formula Tarif Trump dianggap menyesatkan

Trump menggunakan rumus: defisit AS terhadap suatu negara dibagi total impor AS dari negara tersebut, dibagi dua, lalu diubah menjadi persentase tarif. Draper dan Hing menyebut formula ini "sangat menyesatkan". Mereka menulis, "formula ini gagal mempertimbangkan tingginya permintaan konsumen AS terhadap impor, serta defisit fiskal besar pemerintah AS".

Permintaan domestik yang kuat mendorong impor, sementara utang negara yang besar membuat AS harus meminjam dari luar negeri. Ini mendorong penguatan dolar AS dan membuat impor lebih murah. Akibatnya, defisit perdagangan membesar bukan karena praktik curang dari negara lain, melainkan dinamika internal ekonomi AS.

Defisit perdagangan bukanlah musuh. Ia bisa menjadi gejala dari konsumsi tinggi, kekuatan daya beli, dan struktur ekonomi modern yang kompleks. Menyederhanakan defisit sebagai "kerugian nasional" justru bisa menyesatkan kebijakan dan merusak hubungan dagang.

Seperti ditegaskan Draper dan Hing, pendekatan kebijakan yang bertanggung jawab harus mempertimbangkan banyak faktor—bukan hanya satu angka tunggal dari neraca perdagangan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)