Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. Foto- MI/Ebet.
Media Indonesia • 17 December 2024 06:09
HAMPIR setiap rezim sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi selalu mengeklaim tercapainya swasembada pangan, terutama beras.
Namun, faktanya jauh panggang dari api. Ketergantungan pangan dari luar negeri alias impor pangan wabil khusus beras tak pernah putus, bahkan seperti keranjingan, semakin banyak kuantitasnya dari masa ke masa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia masih melakukan impor beras cukup besar pada 2024. Secara kumulatif menjelang Presiden Joko Widodo lengser pada Januari sampai Agustus, Indonesia dibanjiri beras impor.
Total impor beras mencapai 3,05 juta ton, atau senilai US$1,91 miliar. Angka tersebut meningkat 121,34% jika dibandingkan dengan Januari-Agustus 2023 yang sebanyak US$863,62 juta.
Impor pangan, terutama beras, ialah bagian paradoks Indonesia. Tak ada yang memungkiri bahwa Indonesia ialah negeri yang subur. Indonesia berlimpah sumber daya alam. Pengamat energi Kurtubi pernah menyebutkan kekayaan SDA Indonesia diperkirakan mencapai Rp200 ribu triliun.
Ironisnya, di balik kekayaan Indonesia yang berlimpah ruah, utang luar negeri terus menggunung sehingga bayi Indonesia yang baru lahir sudah terbebani oleh utang. Jumlah utang luar negeri per Juli 2024 menembus Rp8.502,69 triliun, atau naik sekitar Rp57,82 triliun dalam sebulan.
Meski hidup dari utang, pengelolaan negara masih amatiran, masih jauh dari prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih, yakni akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Politik masih menjadi panglima. Padahal, sepatutnya hukum yang menjadi panglima.
Kini Indonesia bertekad menjadi negara maju untuk menyongsong Indonesia emas 2045. Salah satu jalan yang ditempuh ialah Indonesia harus mencapai swasembada pangan.
Hal itu ditegaskan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdana seusai dilantik menjadi Presiden RI pada 20 Oktober lalu.
Tak mengherankan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran ada menteri koordinator bidang pangan yang dijabat Zulkifli Hasan. Kementerian koordinasi yang dipimpin Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu membawahkan empat kementerian dan dua badan. Zulkifli percaya diri sehingga menargetkan swasembada pangan pada 2027.
Sejurus dengan itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meyakini pada 2025 Indonesia sudah terbebas dari impor beras. Dia menegaskan produksi beras tahun depan bisa mencapai 32 juta ton.
Tak sekadar keyakinan, Amran pun membentuk Brigade Pangan untuk mengegolkan swasembada pangan. Brigade Pangan yang sudah terbentuk di 12 provinsi dan 85 kabupaten itu bertugas mengoptimasi lahan dan mencetak sawah.
Target dari optimasi lahan dan cetak sawah itu terciptanya 2,4 juta hektare lahan baru dalam lima tahun ke depan. Setiap kelompok Brigade Pangan itu akan dibina langsung oleh TNI.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) swasembada adalah usaha untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan definisi kemandirian pangan (swasembada pangan).
Kemandirian pangan yang dimaksud Pasal 1 ayat (3) UU No 18 Tahun 2012 ialah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Cita-cita luhur Presiden Prabowo tentang swasembada pangan bisa menjadi kenyataan apabila jalan yang ditempuh bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, hukum, dan etika.
Selama ini proyek swasembada pangan hanya bersifat politis. Tidak sungguh-sungguh membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Proyek bersifat pencitraan. Hanya gebyar di awal, selanjutnya melempem dan ujungnya mangkrak.
Coba lihat proyek pencetakan sawah yang dilaksanakan Kementerian BUMN pada 2012-2014 senilai Rp317 miliar akhirnya menjadi pesta pora maling berdasi. Sejumlah pejabat anak buah mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menjadi pesakitan karena diduga membuat proyek fiktif.
Demikian pula program food estate (lumbung pangan) sejak 2020 untuk mengantisipasi krisis pangan global di lima provinsi hingga Jokowi turun dari singgasana tak ada evaluasi secara terbuka dari pemerintah.
Bahkan, yang mengemuka dari proyek strategis nasional itu ialah sejumlah kemudaratan, seperti terganggunya ekosistem gambut, deforestasi, ancaman keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan, seperti hasil investigasi Greenpeace.
Program swasembada pangan harus direncanakan dengan matang. Jangan sekadar kerja, kerja, kerja, tapi secara konseptual, yuridis, sosiologis, dan filosofis kering.
Benjamin Franklin, negarawan AS, mewanti-wanti pentingnya sebuah persiapan. "Jika Anda gagal merencanakan, Anda sedang merencanakan kegagalan," ujarnya. Tabik!
Dewan Redaksi Mediia Group Ade Alawi