Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Jakarta: Pemerintah diminta untuk menunda penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Itu didasari pada situasi daya beli masyarakat yang masih berada dalam tekanan dan kemampuan konsumsi yang berbeda pada tiap lapisan masyarakat.
“Fraksi PPP meminta pemerintah agar menunda kenaikan PPN 12 persen,” ujar Juru Bicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Aras dalam dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan V Tahun 2023-2024 di Gedung DPR, Jakarta, dilansir Media Indonesia, Selasa, 28 Mei 2024.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen itu, kata dia, akan menambah beban pada aspek konsumsi rumah tangga yang sedianya merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kenaikan tarif PPN jadi beban
Selain dapat menekan pertumbuhan konsumsi masyarakat, kenaikan tarif PPN tersebut juga dinilai tidak memenuhi aspek keadilan dalam penerapan pajak.
Sebab, pengenaan tarif PPN di Indonesia saat ini masih berpedoman pada skema satu tarif, alias berlaku untuk semua orang yang mengonsumsi barang maupun jasa. Padahal kemampuan daya beli tiap masyarakat berbeda. Dus, tekanan dari kenaikan tarif PPN tersebut akan sangat memukul masyarakat, utamanya mereka yang berada di kelompok menengah dan bawah.
“Ini kurang adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli masyarakat atau kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda,” kata Aras.
Penerapan tarif PPN 12 persen sedianya telah dituangkan dalam Undang Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam UU, penaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022.
Lalu penaikan tarif menjadi 12 persen diatur dalam UU tersebut pada 1 Januari 2025. Namun sejatinya pemerintah bisa membatalkan atau menunda penaikan tarif PPN tersebut. Hal itu tertuang dalam UU PPN pasal 7 ayat (3). Beleid itu menyebutkan pemerintah dapat mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen melalui Peraturan Pemerintah. (M Ilham Ramadhan)