Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. Foto: MI/Ebet. 
                                                
                    Media Indonesia •  4 November 2025 05:53 
                
                
                    
                        BETAPA penting sebuah pemerintahan dipimpin seorang negarawan. Bukan oleh seorang politikus yang hanya memikirkan tujuan-tujuan jangka pendek, tujuan melanggengkan kekuasaan atau mewariskan kekuasaan kepada keluarganya atau kelompoknya.
Indonesia ialah negara besar, besar karena populasi penduduknya terbesar keempat di dunia sebanyak 284,4 juta jiwa. Besar pula jika dilihat dari luas wilayah Indonesia dengan keberlimpahan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya.
Dunia memuji Indonesia karena meski penduduknya beraneka ragam latar belakang, suku, agama, kepercayaan, bahasa, dan adat istiadat, negeri yang berjuluk ‘Zamrud Katulistiwa’ ini relatif aman. Tak ada konflik-konflik berkepanjangan karena perbedaan latar belakang warganya tersebut.
Negeri ini perlu dipimpin seorang negarawan. Sosok yang memikirkan jauh ke depan tentang masa depan generasi berikutnya, masa depan negerinya. Usia 80 tahun kemerdekaan RI melalui berbagai dinamika perjalanan bangsa seyogianya sudah melahirkan banyak negarawan.
Negara yang dipimpin seorang politikus sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa. Meskipun pemimpin negara itu bukan ketua umum partai politik, jika berpikirnya politis, kekuasaan jangka pendek, kekuasaan ia jadikan tujuan dan bukan sarana pengabdian, ia tetap seorang politikus.
 
Pemimpin negara yang bersikap negarawan akan mewariskan legacy bagi masa depan bangsa. Legacy bisa bersifat fisik, bisa nonfisik. Legacy yang bersifat fisik ialah tonggak-tonggak pembangunan yang berdampak kesejahteraan rakyat.
Dengan kata lain, pembangunan tidak sekadar dilihat dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang berkilauan, tetapi di sisi lain melahirkan kesenjangan ekonomi dan sosial. Pembangunan pada akhirnya harus melahirkan kondisi masyarakat adil dan makmur.
Legacy seorang negarawan bisa bersifat nonfisik. Misalnya, Bung Karno (1901-1970) yang memproklamasikan kemerdekaan RI dan bersama tokoh lain menyusun Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, sang proklamator mewariskan pemikiran akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) sebagai bangsa yang merdeka melalui pemikiran Trisaktinya, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan.
Tak kalah hebatnya, Mohammad Hatta (1902-1980) selain proklamator, negarawan yang dikenal jujur dan hidup sederhana ini dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pemikirannya tentang demokrasi ekonomi dan kemandirian rakyat menjadi pijakan sampai hari ini.
Pascareformasi Presiden Ketiga RI BJ Habibie (1936-2019) dikenal sebagai negawaran dan teknokratis. Pada eranya, ia banyak melahirkan undang-undang yang menguatkan Indonesia sebagai negara demokratis dan anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Tokoh bangsa lain yang layak menyandang predikat negarawan ialah KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur (1940-2009). Presiden Keempat RI itu dikenal dengan perjuangannya mengusung pluralisme dan toleransi, menghapus diskriminasi terhadap etnik Tionghoa, dan sebagainya.
Pemimpin negara yang tidak bersikap negarawan akan menjadi beban bagi pemerintahan selanjutnya. Pasalnya, ambisi pribadinya akan melahirkan warisan yang bermasalah, seperti proyek-proyek mercusuar yang hanya terlihat mentereng dari luar, tetapi memendam seabrek permasalahan di dalamnya.
Presiden Prabowo Subianto yang semestinya bisa fokus untuk menciptakan program-program prioritasnya, seperti program makan bergizi gratis, kini ikut direpotkan untuk menanggulangi utang jumbo proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang bernama Whoosh. Proyek dibangun dengan skema B2B (business to business).
Utang segunung disebabkan nilai megaproyek sebesar US$ 7,26 miliar, atau setara Rp119,79 triliun (asumsi kurs Rp16.500/US$). Nilai proyek kemudian membengkak (cost overrun) sebesar US$ 1,21 miliar (Rp19,96 triliun) dari nilai investasi awal yang ditetapkan senilai US$ 6,05 miliar (Rp99,82 triliun).
beban utang proyek Whoosh diperkirakan sekitar US$7,2 miliar, atau sekitar Rp116 triliun. Tanggungan kewajiban itu membuat kondisi keuangan empat BUMN yang tergabung dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) babak belur.
Konsorsium BUMN yang merupakan pemegang saham mayoritas PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) itu mencatat kerugian hingga Rp4,195 triliun sepanjang 2024.
Kewajiban membayar cicilan utang pokok dan bunga ke kreditur China Development Bank (CDB) terus meroket hingga menginjak tahun ini. Jumlah penumpang Whoosh memang menunjukkan tren peningkatan, tetapi belum mencapai target dari proyeksi semula.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah berencana memperpanjang tenor pinjaman hingga 60 tahun dari 40 tahun yang disepakati semula dengan kreditur.
Di sisi lain, Menteri Ekonomi Purbaya Yudhi Sadewa sudah jaga-jaga. Ia menolak jika APBN menanggung utang proyek kereta yang dianggap sebagai milestone (tonggak) perkeretaapian nasional itu.
Ekonom senior Faisal Basri (almarhum) pernah mengatakan dalam suatu diskusi bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh tidak layak secara bisnis sehingga dipastikan sulit balik modal. “Sampai kiamat tidak akan balik modal,” ujarnya.
Alhasil, alih-alih Whoosh mendulang untung, balik modal pun dinilai sebagai mission imposible. Namun, Presiden Ketujuh RI Joko Widodo yang menelurkan proyek tersebut berkilah bahwa pembangunan proyek kereta cepat itu sejak awal bukan untuk mencari laba, melainkan investasi sosial jangka panjang. Pemikiran mantan presiden yang kini tersandung oleh kasus dugaan palsu ijazah S-1-nya dari UGM itu sungguh berbahaya bagi keuangan negara atau BUMN yang mengerjakan proyek pembangunan.
Sebenarnya jika proyek pembangunan berdasarkan tata kelola yang baik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, semuanya harus dihitung dengan cermat agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran.
Singkatnya, perlu perencanaan yang matang, termasuk studi kelayakan, untuk menghitung ongkos pembangunan dan dampak sosialnya. Artinya, tidak ada kamus BUMN sekarat tapi investasi sosial didapat. Itu bunuh diri namanya.
Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. Foto: MI/Ebet.
Rakyat tak membutuhkan gebyar pembangunan, tapi menjauhkan dari nurani dan akal sehat. Kalau hidup sekadar hidup, kata Buya HAMKA, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.
Negarawan menawarkan kehidupan yang bermakna, bukan untaian kata dan deretan angka-angka tak bernyawa. Tabik!