Gedung Capitol di Washington yang menjadi lambang jalannya roda pemerintahan Amerika Serikat. Foto: Anadolu
Harianty • 8 November 2025 15:46
Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali “shutdown” untuk kesekian kalinya dalam sejarah modern negeri itu. Kali ini belum tampak tanda-tanda kebuntuan akan berakhir.
Pemerintah AS mengalami penghentian operasional setelah Senat gagal menyetujui RUU belanja tahunan pada 30 September lalu. Seorang pejabat senior Gedung Putih mengatakan negosiasi antara anggota Kongres Partai Demokrat dan Partai Republik untuk mengakhiri shutdown sama sekali tidak membuahkan hasil, lantaran belum ada kesepakatan anggaran fiskal terbaru.
Gedung Putih lumpuh sebagian, layanan publik terhenti, dan ratusan ribu pegawai federal tidak digaji. Namun yang lebih mengkhawatirkan bukan sekadar dampak ekonomi, melainkan krisis politik yang kini terang-benderang di hadapan dunia.
“Penutupan” pemerintah adalah hasil langsung dari ketidakmampuan dua partai besar -,Republik dan Demokrat,- untuk mencapai kompromi atas anggaran negara. Perselisihan soal jaminan kesehatan, tunjangan sosial, hingga pembiayaan birokrasi telah berubah menjadi ajang adu gengsi politik.
Partai Republik di bawah kepemimpinan Trump mencoba menjadikan krisis ini sebagai alasan untuk “merampingkan pemerintahan” dan memecat pegawai federal yang dianggap tidak perlu. Di sisi lain, Partai Demokrat menolak tunduk, menjadikan kebuntuan ini simbol perlawanan dan sarana memperkuat solidaritas internal menjelang pemilu paruh waktu.
Kedua pihak sibuk mempertahankan citra, bukan mencari solusi.
Konsekuensinya terasa di seluruh penjuru negeri: penundaan penerbangan, museum dan taman nasional tutup, hingga data ekonomi penting seperti inflasi tidak bisa dipublikasikan tepat waktu. Bagi negara yang selama ini mengklaim diri sebagai simbol efisiensi dan tata kelola publik yang modern, pemandangan ini ironis.
Investor kehilangan pegangan karena data resmi tertunda, sementara masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah menjalankan fungsi dasarnya. Semakin lama penutupan berlangsung, semakin besar pula risiko jangka panjang terhadap ekonomi dan reputasi global Amerika Serikat.
Penutupan ini diperkirakan menimbulkan kerugian sekitar USD15 miliar atau setara Rp248 triliun (kurs Rp 16.582) per hari. Menteri Keuangan AS Scott Bessent menilai dampak shutdown ini mulai menggerus otot-otot perekonomian AS.
Ia mendesak Partai Demokrat menjadi pahlawan dengan berpihak pada Partai Republik guna mengakhiri kebuntuan politik di Kongres yang menyebabkan shutdown itu. Menurut Bessent, hal ini dapat berdampak pada arus investasi yang mengalir ke ekonomi AS.
Bagi dunia luar, krisis ini memperlihatkan wajah baru Amerika: negara yang didera polarisasi, di mana kompromi politik menjadi barang langka. Para sekutu melihat tanda-tanda penurunan kapasitas kepemimpinan global AS. Dalam banyak hal, “penutupan” ini bukan sekadar soal anggaran, tetapi simbol menurunnya efektivitas demokrasi Amerika itu sendiri.
Jika kebuntuan ini berlanjut hingga menembus rekor 35 hari pada 2019. Penutupan pemerintah bukan tragedi anggaran, melainkan cermin dari kegagalan politik, yang juga memperburuk citra AS di mata dunia. Selama para politisi di Washington terus memperlakukan kekuasaan sebagai alat untuk saling menjatuhkan, bukan untuk melayani rakyat. Malah, rakyatlah yang menjadi korban dari pertarungan elit ini, terutama warga biasa yang bergantung pada gaji, bantuan sosial, dan kepastian ekonomi.
Krisis berulang ini seharusnya menjadi momentum bagi para pemimpin di Washington untuk menata ulang sistem anggaran yang kerap dijadikan alat tawar politik. Stabilitas negara seharusnya ditempatkan di atas kepentingan partai.
Penutupan pemerintahan ini bukan hanya ujian bagi sistem politik Negeri Paman Sam, tetapi juga ujian bagi kepemimpinan Presiden Donald Trump. Jutaan warga menanti kepastian,seorang presiden harusnya menjadi jangkar stabilitas, bukan sumber ketegangan baru.
Penutupan pemerintah ini harusnya menjadi momentum untuk membangun jembatan dialog lintas partai. Kompromi bukan kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap rakyat. Langkah yang harus diambil adalah mengutamakan kepentingan publik di atas agenda politik.