Performa Komunikatif dan Rangkap Jabatan Erick Thohir

Erick Thohir, Ketum PSSI yang merangkap sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Foto: MI/Susanto

Performa Komunikatif dan Rangkap Jabatan Erick Thohir

20 September 2025 20:47

Oleh: Kennorton Hutasoit*

Reshuffle kabinet pada 17 September 2025 menempatkan Erick Thohir sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) menggantikan Dito Ariotedjo. Di saat yang sama, Erick Thohir masih menjabat Ketua Umum PSSI. Publik pun memperdebatkan potensi benturan kepentingan dan otonomi organisasi sepak bola, sekaligus menilai performa komunikatifnya ketika harus berbicara sebagai pejabat negara dan pemimpin federasi.
 
Pernyataan pertama Erick menegaskan fokus pada 131 juta pemuda serta menjadikan olahraga sebagai pemersatu bangsa dan motor ekonomi. Ini sebuah framing yang mencoba merangkul negara, pasar, dan ekosistem olahraga dalam satu tarikan nafas. 
 
Performa komunikatif Erick Thohir dalam peran ganda yaitu Menpora dan Ketua Umum PSSI, pascareshuffle Jilid III Kabinet Merah Putih Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 17 September 2025 menarik untuk dianalisis. Analisis dimulai dari: Pertama, pernyataan Erick Thohir akan fokus pada pembangunan pemuda dan olahraga, serta penegasan olah raga sebagai pemersatu bangsa, menyiratkan strategi komunikasi integratif. 
 
Kedua, rangkap jabatan Ketua Umum PSSI yang memantik wacana otonomi federasi serta kemungkinan konflik kepentingan. Ketiga, posisi menunggu keputusan FIFA terkait rangkap jabatan, Erick menyatakan akan mengikuti mekanisme FIFA. “Nanti biar FIFA yang menentukan,” katanya. Sementara Presiden FIFA Gianni Infantino memberi ucapan selamat atas jabatan Menpora dan menilai kinerja Erick di PSSI positif. 
 
Rangkap jabatan dapat ditinjau dalam konteks regulasi dan tata kelola yakni: Pertama, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara melarang menteri merangkap jabatan, termasuk sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD. Alasannya jelas untuk mencegah konflik kepentingan dan menjamin profesionalisme. Kedua, putusan MK 128/PUU-XXIII/2025 baru-baru ini menegaskan larangan rangkap jabatan berlaku juga bagi wakil menteri dan menegaskan ratio legis pencegahan konflik, menambah bobot etis atau konstitusional atas isu rangkap jabatan. Ketiga, UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan membuka ruang pendanaan negara bagi induk organisasi cabang olahraga yaitu National Olympic Committee (NOC), International Federation (IF), dan Football Association (FA), sehingga isu pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD relevan ketika Menpora juga memimpin PSSI. 
 
Posisi Erick Thohir sebagai Menpora sekaligus Ketua Umum PSSI juga menimbulkan kekhawatiran mengenai prioritas kebijakan olahraga. Banyak pihak menilai rangkap jabatan ini berpotensi membuat kebijakan Kementerian Pemuda dan Olahraga terlalu fokus pada sepak bola, sementara cabang olahraga lain terpinggirkan. Misalnya, alokasi anggaran, fasilitas latihan, dan program pembinaan bisa lebih banyak diarahkan untuk kepentingan PSSI daripada olahraga lainnya. Seperti bulu tangkis, atletik, atau renang yang juga berprestasi di tingkat dunia. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah recusal rule seharusnya diterapkan agar Erick mundur dari salah satu posisi demi menjaga objektivitas dan pemerataan perhatian bagi seluruh ekosistem olahraga nasional.
 
Dalam konteks tata kelola global olahraga, rangkap jabatan Erick Thohir bisa bermasalah bila dilihat dari aspek ini. Pertama, FIFA Statutes menuntut asosiasi anggota independen dan bebas dari intervensi politik.Kedua, prinsip good governance International Olympic Committee (IOC) yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan otonomi organisasi olahraga. Ketiga, preseden sanksi FIFA terhadap federasi seperti yang dialami Kongo dan Pakistan pada Februari 2025, hal ini memperlihatkan konsekuensi nyata jika independensi terganggu. 
 
Erick Thohir yang menonjolkan narasi 131 juta pemuda dan olahraga sebagai duta bangsa, sekaligus motor ekonomi melalui kompetisi berjenjang di pusat dan daerah merupakan bahasa kebijakan yang menggabungkan misi kebangsaan, pembangunan talenta, dan industrialisasi olahraga. Dia membingkai (framing) pemuda - olahraga - ekonomi untuk mereduksi resistensi terhadap rangkap jabatan. Erick menampilkan grand narrative yang konsisten yaitu pemuda (kapabilitas dan patriotisme), olahraga (pemersatu/branding internasional), dan ekonomi (kompetisi sebagai pengungkit). Ini efektif untuk konsolidasi dukungan lintas segmen baik dari pemerintah, dunia usaha, dan komunitas olahraga. Namun, koherensi narasi perlu menaati guardrail (pagar pembatas) akuntabilitas agar tidak menjadi justifikasi status ganda. 
 
Dari aspek akuntabilitas dan independensi, di ranah governance, dual hat (rangkap jabatan) menempatkan Erick pada multiple accountabilities yaitu akuntabel pada Presiden atau DPR sebagai Menpora dan pada kongres anggota PSSI serta FIFA sebagai Ketum federasi. Prinsip independensi federasi menjadi titik krusial. Sinyal menunggu keputusan FIFA dan ucapan selamat Infantino meredakan kekhawatiran jangka pendek, tetapi firewall kelembagaan tetap diperlukan untuk menghindari kesan intervensi negara pada PSSI. Hal ini mengacu pada Good Governance in Sport (Chappelet; IOC Principles) yaitu transparansi, akuntabilitas, demokrasi internal, dan otonomi sebagai standar minimum. 

Role Conflict Theory (Kahn dkk.) dapat digunakan untuk menganalisis rangkap jabatan yang menimbulkan konflik peran (komando - kontrol Menpora vs otonomi federasi). Sedangkan Stakeholder Theory (Freeman) dapat digunakan untuk pemetaan kepentingan negara, atlet, klub, sponsor, suporter, regulator internasional (FIFA/IOC) yang menuntut win-win solution.

Konteks Indonesia


Teori tata kelola olahraga global berasumsi pemisahan tegas negara–federasi. Di Indonesia, ekosistem olahraga kerap terhubung erat dengan anggaran/dinas (venue, kontingen, program nasional), sehingga pemisahan absolut sulit. Karena itu, model Hybrid Autonomy with Public-Value Firewall perlu dipertingkan. Model ini meliputi sejumah aspek: Pertama, otonomi substantif federasi dalam teknis sepak bola (kompetisi, seleksi, disiplin) - dengan no-go zone (wilayah terlarang) eksplisit dari Kemenpora. Kedua, kolaborasi kebijakan pada area pembangunan pemuda, infrastruktur, sport economy – diatur melalui MoU formal dan transparency ledger. Dan ketiga, firewall konflik kepentingan berupa recusal ruleindependent oversight(komite etika bersama), dan kewajiban mengungkap (disclose) semua keputusan yang beririsan (grant, even hosting, sponsor BUMN). Kerangka ini menjaga public value negara tanpa menggerus autonomy federasi yang selaras dengan prinsip FIFA/IOC sekaligus kompatibel dengan hukum nasional. 

FIFA berkali-kali menindak federasi yang dianggap terintervensi pihak ketiga (pemerintah). Sanksi kepada Kongo dan Pakistan pada 2025 menjadi pengingat bahwa persepsi independensi sama pentingnya dengan substansi. Di sisi komunikasi, Erick perlu bukan hanya menyatakan patuh kepada FIFA, tetapi menunjukkan mekanisme kelembagaan yang membuat patuh itu terukur. 

Performa Komunikatif Erick Thohir memberi harapan dalam beberapa hal: Pertama, narasi pemuda - olahraga - ekonomi yang inklusif memudahkan orkestrasi kolaborasi lintas sektor. Kedua, gestur deferensial terhadap FIFA (menunggu keputusan) mereduksi tensi “intervensi”. Dan ketiga, penguatan simbol persatuan (olahraga duta bangsa) selaras kebutuhan stabilitas pasca-gejolak sosial politik demonstrasi akhir Agustus 2025 kemarin. Tantangannya kini bagaimana menerjemahkan narasi menjadi arsitektur tata kelola yang bisa diaudit publik.
 

Rekomendasi kebijakan dan komunikasi

 
Empat langkah praktis agar rangkap jabatan tidak menjadi risiko dan tanggung jawab hukum (governance liability), tetapi keunggulan koordinasi. Pertama, memutuskan “Firewall Kelembagaan” tertulis dalam Bentuk Joint Governance Charter Kemenpora - PSSI (dipublikasikan), berisi no-go zone (teknis sepak bola di tangan PSSI), recusal rule (pengunduran diri suka rela) untuk Menpora saat keputusan menyentuh PSSI, dan independent oversight panel (unsur akademisi, ex-atlet, akuntan publik). Kedua, memisahkan aliran dana dan keputusan. Penerapan grant management system berbasis transparency ledger agar setiap rupiah APBN ke sepak bola terlacak, auditabel, dan tidak ditentukan oleh pejabat yang juga berposisi di PSSI. 

Ketiga,membangun Public-Value Scorecard dengan mengukur dampak kebijakan pada pemuda (indeks pembangunan pemuda), prestasi olahraga (non-sepak bola juga), dan ekonomi olahraga (UMKM event, tenaga kerja). Paparkan secara berkala atau triwulanan dalam bentuk press briefing terbuka. Dan terakhir, legitimasi internasional proaktif dengan memintakan opini kepatuhan tertulis dari FIFA/AFC atas skema firewall; menyinkronkan dengan IOC/KOI dengan prinsip good governance
 
Erick memulai tugas Menpora dengan narasi yang menjanjikan, mengikat pemuda, prestasi, dan ekonomi olahraga. Tetapi, di era tata kelola modern, narasi harus diikat oleh desain kelembagaan. Rujukan hukum nasional yang termaktub dalam UU Nomor 39 Tahun 2008, Putusan MK 128/PUU-XXIII/2025, dan standar global FIFA/IOC menuntut independensi federasi dan pencegahan konflik kepentingan. Jalan tengah yang realistis bagi konteks Indonesia adalah Hybrid Autonomy with Public-Value Firewall: federasi tetap otonom, negara tetap hadir menciptakan nilai publik dengan pagar akuntabilitas yang jelas, terukur, dan dapat diaudit. Jika itu diwujudkan, rangkap jabatan tidak harus dibaca sebagai masalah, melainkan keunggulan koordinasi yang mempercepat transformasi ekosistem pemuda dan olahraga Indonesia. 

 
* Penulis adalah Jurnalis Metro TV dan Doktor Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Komunikasi Politik

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)