#OnThisDay: Serbuan Kotabaru Yogyakarta

Asrama Militer Korem 072/Pamungkas di kawasan Kotabaru, Yogyakarta.

#OnThisDay: Serbuan Kotabaru Yogyakarta

Lukman Diah Sari • 7 October 2025 08:48

Yogyakarta: Tidak banyak yang tahu, di balik bangunan putih sederhana di timur Stadion Kridosono, tersimpan kisah heroik penuh semangat kemerdekaan. Bangunan itu kini menjadi bagian dari Asrama Militer Korem 072/Pamungkas di kawasan Kotabaru, Yogyakarta.

Namun, tepatnya 80 tahun lalu, pada 7 Oktober 1945, tempat ini jadi medan pertempuran sengit antara rakyat Indonesia dan tentara Jepang. Aksi itu dikenal dengan Serbuan Kotabaru, aksi spontan masyarakat Yogyakarta yang ingin merebut senjata dari tangan tentara Jepang. Masyarakat tidak ingin kemerdekaan yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945 kembali dirampas penjajah.

Melansir Portal Berita Pemerintah Kota Yogyakarta, Sekretaris Dewan Harian Cabang Badan Penerus Pembudayaan Kejuangan 45 Kota Yogyakarta, Sudjono, menerangkan Serbuan Kotabaru bukanlah perintah resmi militer. Bukan pula strategi besar yang dirancang jenderal.

"Serbuan Kotabaru itu gerakan spontan masyarakat. Semacam gethok tular dari orang-orang berpengaruh saat itu. Tidak ada komando resmi. Tapi ada kesadaran kolektif: kita harus ambil alih," kata Sudjono saat ditemui tim Wartajogjakota, Kamis, 3 November 2022.

Bangunan putih di Asrama Korem 072/Pamungkas yang dulu jadi gudang senjata Jepang.

Saat itu, tentara Jepang masih bercokol di markas Kotabaru meski sudah kalah perang. Di sana tersimpan gudang senjata. Rakyat sadar, jika tidak diambil, senjata-senjata itu bisa jatuh ke tangan sekutu. 

"Intinya, kita ingin mempersenjatai diri sendiri. Karena kita sudah merdeka. Jangan sampai penjajah kembali masuk," lanjutnya.

Dari Perundingan ke Perlawanan

Sebelum serangan dilakukan, berbagai elemen masyarakat, dari Komite Nasional Indonesia (KNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR), Polisi Istimewa (PI), hingga tokoh muda, sempat mencoba jalan damai. Pada 6 Oktober 1945, mereka mendatangi rumah komandan Jepang untuk berunding.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Saleh (KNI) bersama Oemar Djoy, Soendjojo, Bardosono, dan Raden Pandji Soedarsono. Pihak Jepang diwakili Mayor Otsoeko, Sazaki, dan Kapten Ito. Namun negosiasi buntu. Jepang tak mau menyerahkan senjata. Maka, skenario damai berubah menjadi perlawanan.

Waktu Subuh Perlawanan Dimulai

Malam itu, para pemuda dari berbagai kemantren, yakni Danurejan, Jetis, Gowongan, dan Patuk bersiap. Truk pabrik dipinjamkan untuk mengangkut pemuda menuju markas Jepang. Mereka hanya bersenjatakan bambu runcing, arit, tombak, dan parang. Sementara itu, Polisi Istimewa memiliki senjata api. 

Diorama Serbuan Kotabaru di Museum Benteng Vredeburg.

Pagi buta, 7 Oktober 1945, setelah kabel listrik dan telepon markas Jepang diputus, suara letusan terdengar. Itu sinyal serangan dimulai.

“Tembak-menembak berlangsung ramai. Lalu Jepang kibarkan bendera putih. Seorang pemuda langsung menurunkan bendera Jepang, menggantinya dengan Merah Putih,” cerita Sudjono, yang ayahnya adalah bekas tentara PETA dan ikut dalam penyerbuan.

Markas berhasil direbut. Senjata-senjata diamankan dan dibawa ke Keraton Yogyakarta. Para tentara Jepang yang selamat ditawan dan dikirim ke Penjara Wirogunan.

21 Pahlawan Gugur, Namanya Abadi di Jalanan Kotabaru

Serbuan itu menyebabkan 21 pejuang gugur, 32 lainnya luka-luka. Dari pihak Jepang, tercatat 27 orang tewas. Untuk mengenang para pahlawan, nama-nama mereka kini diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Kotabaru. Mereka adalah:
  1. Atmosukarto
  2. Ahmad Djazuli
  3. Abu Bakar Ali
  4. Djasman
  5. Djoewadi
  6. Djohar Noerhadi
  7. Faridan M Noto
  8. I Dewa Nyoman Oka
  9. Kalipan
  10. Mochammad Sareh
  11. Ngadikan
  12. Sadjiono
  13. Sabirin
  14. Soenardjo
  15. Soeroto
  16. Soepadi
  17. Soeparmo
  18. Sarwoko
  19. Soebarman
  20. Trimo
  21. Mohammad Wardan
Sebagian besar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta.

Serbuan Kotabaru menjadi cerminan semangat persatuan pasca-proklamasi. Mantan PETA, mantan KNIL, rakyat biasa, BKR, pemuda pelajar, Polisi Istimewa semua bersatu demi mempertahankan kemerdekaan. Banyak nilai yang diwariskan, tapi yang paling kuat, kata Sudjono, adalah semangat persatuan dan pengorbanan tanpa pamrih.

“Semua merasa sebagai satu bangsa. Tidak penting latar belakang. Yang penting kita sudah merdeka, dan kita harus menjaganya,” tutupnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Lukman Diah Sari)