Podium MI: Lebih Enak Jadi Wamen

Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Lebih Enak Jadi Wamen

Media Indonesia • 13 June 2025 05:59

LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian. Tanggung jawabnya pasti lebih besar, tapi panggung dia untuk berkarya atau menonjolkan citra juga tak kalah besar.

Kalau kinerja kementeriannya bagus, kontribusi sang menteri akan menjadi yang pertama kali dilihat dan dihargai orang. Sebaliknya bila kementeriannya bekerja tidak becus, dia juga yang akan pertama kali menjadi sasaran kritik, sekaligus (mungkin) akan masuk list presiden untuk di-reshuffle.

Bagaimana dengan wamen? Namanya juga wakil, di mana-mana akan menjadi nomor dua. Secara alamiah, wamen tidak akan terlalu terlihat, baik peran maupun kontribusinya. Bisa saja mengambil jalan nonalamiah, si wamen digosok-gosok, dikatrol-katrol supaya terlihat menonjol. Namun, itu tentu membutuhkan energi dan dana yang besar. Tidak semua wamen mau dan mampu melakukannya.

Lalu apakah menjadi wamen tidak menyenangkan? Tidak sesederhana itu juga menyimpulkannya. Mau tidak terlihat, tidak menonjol, atau sekadar dianggap sebagai nomor dua, tetap saja mereka ialah pejabat tinggi negara. Minimal, derajat mereka sebagai warga negara akan naik. Kalau ada pengastaan warga negara, mereka mungkin masuk golongan first class.

Belum lagi soal gaji dan fasilitas yang mereka terima tentu juga tidak main-main. Level pendapatan mereka sudah 'negara', bukan lagi sekadar gaji pengurus ormas, kelompok relawan, atau parpol, tempat kebanyakan wamen saat ini berasal.
 

Baca juga: 

Presiden Prabowo Soroti Banyak Pejabat Menipu dan Mencuri Uang Rakyat


Ada satu hal lagi yang membuat posisi wamen bahkan lebih menarik ketimbang menteri. Wamen bisa rangkap jabatan menjadi komisaris korporasi pelat merah alias BUMN, dan itulah yang kini terjadi dengan amat masif. Puluhan wamen terpasang namanya di jajaran komisaris sejumlah BUMN, beberapa di antaranya bahkan menjadi komisaris utama.

Dari banyak 'jalur' yang tersedia untuk bisa menembus posisi komisaris BUMN, tampaknya 'jalur wamen' kini yang paling kuat. Sedikitnya ada 23 wamen di Kabinet Merah Putih yang rangkap jabatan di BUMN. Ada yang memang sudah duduk jadi komisaris sebelum ia menjabat wamen, tetapi jauh lebih banyak yang masuknya belakangan setelah jadi wamen.

Teranyar ialah Wamen Kebudayaan Giring Ganesha yang ditunjuk menjadi komisaris anak usaha PT Garuda Indonesia, yakni PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia (GMF Aero Asia). Sebelumnya ada Wamen Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah yang masuk jajaran Komisaris PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) dan Wamen Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo sebagai Komisaris Utama PT Telkom Indonesia (persero) Tbk.

Secara regulasi, boleh-tidaknya wamen rangkap jabatan di BUMN masih jadi perdebatan. Pemerintah, yang belakangan banjir kritik gara-gara itu, berdalih rangkap jabatan tersebut tidak melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang merujuk pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Putusan itu memang menyisakan celah, di situ tidak tertulis eksplisit larangan bagi wakil menteri merangkap jabatan. Yang tertulis hanyalah larangan untuk menteri. Celah itulah yang kemudian ditafsirkan pemerintah bahwa wamen boleh melakoni profesi lain di luar tugasnya di kementerian.
 
Baca juga: 

Pertamina Ubah Jajaran Direksi dan Komisaris, Ini Susunan Lengkapnya


Di sisi lain, banyak pihak menilai, meskipun dalam amar putusan MK tidak ada penegasan boleh-tidaknya wakil menteri merangkap jabatan, semestinya larangan yang melekat pada menteri otomatis juga melekat pada wamen. Apalagi, dalam pertimbangan hukumnya, MK sebetulnya juga menyatakan larangan merangkap jabatan bagi menteri seharusnya juga berlaku bagi wakil menteri.

Di luar perdebatan soal sah atau tidaknya wamen rangkap jabatan tersebut, praktik seperti itu sesungguhnya amat tidak elok. Baik secara etis maupun tata kelola kenegaraan. Wamen, sebagaimana menteri, ialah regulator, mereka punya kewenangan regulatif dan pengawasan. Lalu bagaimana rumusnya kalau orang yang sama justru ditempatkan sebagai bagian dari korporasi yang seharusnya mereka awasi?

Fungsi regulator seharusnya tidak boleh bercampur dengan fungsi operator. Itu tidak hanya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, tapi juga kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Jangan-jangan, dalam pengelolaan perusahaan nantinya, kepentingan pribadi atau kelompok dari si pejabat yang merangkap komisaris itu justru lebih menonjol ketimbang kepentingan negara. Siapa pula yang bisa menjamin bahwa mereka tidak akan melupakan posisi sebagai pelayan publik dan malah lebih asyik mengurusi korporasi?

Akan tetapi, selama aturan yang tertuang dalam UU Kementerian Negara itu belum direvisi dan dibiarkan abu-abu, tampaknya pemerintah bakal tetap bergeming. Lagi pula deretan wamen yang menunggu giliran dapat jabatan di BUMN masih banyak. Bukan mustahil nanti mereka akan dibuatkan semacam job fair untuk posisi komisaris perusahaan-perusahaan negara. Mantap, kan?

Amat jomplang kondisinya dengan para pencari kerja yang saat ini setengah mati mendapatkan pekerjaan. Ikut job fair berharap dapat peluang kerja malah dibohongi. Konon, sebagian job fair yang diadakan cuma formalitas, perusahaan jadi peserta job fair sekadar memenuhi kewajiban, tidak benar-benar mencari pegawai baru. Kalaupun job fair-nya serius, lalu si pencari dapat pekerjaan, ia juga mesti langsung berhadapan dengan upah rendah. Ruwet.

Jadi, ada paradoks yang teramat kontras. Di satu bagian, negara seolah membiarkan rakyat bertarung sendirian mencari pekerjaan tanpa dukungan berarti, tapi pada bagian lain, negara malah 'mencarikan' pekerjaan tambahan buat mereka yang sudah punya jabatan tinggi. Duh, enak betul, sih, jadi wakil menteri. Jadi pengin.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)