Paus Fransiskus. (Anadolu Agency)
Vatikan: Paus Fransiskus secara terbuka mengkritik kebijakan deportasi massal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap imigran tanpa dokumen. Dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada para uskup Katolik AS pada Selasa, pemimpin Gereja Katolik itu memperingatkan bahaya narasi yang mendiskriminasi serta memperburuk penderitaan para imigran dan pengungsi.
"Saya menyerukan kepada seluruh umat Katolik dan semua orang yang berkehendak baik untuk tidak terjebak dalam retorika yang mendiskriminasi serta menyebabkan penderitaan yang tidak perlu bagi saudara-saudari kita yang merupakan imigran dan pengungsi," tulis Paus dalam suratnya.
Melansir dari The Guam Daily Post, Rabu, 12 Februari 2025, surat tersebut secara tegas menolak perlakuan pemerintahan Trump terhadap para imigran. Paus menegaskan bahwa "hukum yang sejati dan berkeadilan dapat diukur dari cara perlakuan bermartabat yang diberikan kepada semua orang, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan."
Kritik terhadap Interpretasi Konsep 'Ordo Amoris'
Dalam suratnya, Paus Fransiskus juga tampaknya menyinggung pernyataan Wakil Presiden AS J.D. Vance, yang baru-baru ini menggunakan konsep teologi Katolik abad pertengahan untuk membela kebijakan deportasi pemerintahan Trump.
Sang Paus memberikan interpretasi berbeda mengenai "ordo amoris" (tatanan cinta) dengan menekankan bahwa kasih sejati dalam ajaran Kristen bukanlah perluasan kepentingan secara bertahap ke kelompok tertentu, tetapi merupakan cinta yang membangun persaudaraan tanpa pengecualian.
"Ordo amoris yang sesungguhnya adalah yang kita temukan melalui perenungan berkelanjutan atas perumpamaan 'Orang Samaria yang Baik Hati,' yaitu cinta yang membangun persaudaraan yang terbuka bagi semua orang," tulisnya.
Respons dari Pejabat Pemerintahan Trump
Tom Homan, pejabat yang mengawasi kebijakan deportasi massal di bawah pemerintahan Trump, menanggapi kritik Paus dengan meminta pemimpin Gereja Katolik itu untuk tidak ikut campur dalam urusan keamanan nasional Amerika Serikat.
"Fokuslah pada Gereja Katolik," kata Homan dalam wawancara di Newsmax.
"Ada banyak masalah yang harus diperbaiki di dalam Gereja Katolik. Urusan perbatasan biarkan kami yang menangani. Kami tahu apa yang kami lakukan," tambahnya.
Ketegangan antara Paus Fransiskus dan Trump bukan hal baru. Pada tahun 2016, saat kampanye pertama Trump, Paus pernah menyatakan bahwa Trump "bukan seorang Kristen" karena rencananya membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko untuk menghalau imigran. Baru-baru ini, Paus juga menyebut kebijakan deportasi massal Trump sebagai "aib" menjelang pelantikannya.
Posisi Pemilih Katolik terhadap Trump
Menjelang pemilihan presiden 2024, Paus Fransiskus menggambarkan pilihan bagi rakyat Amerika sebagai "pilihan antara dua keburukan yang lebih kecil," dengan merujuk pada kebijakan anti-imigran Trump dan sikap pro-aborsi Wakil Presiden Kamala Harris.
Namun, dalam pemilu tersebut, pemilih Katolik Amerika mendukung Trump dengan selisih 20 poin, berbanding terbalik dengan pemilu 2020 di mana Joe Biden, presiden Katolik kedua dalam sejarah AS memenangkan suara Katolik dengan selisih lima poin.
Massimo Faggioli, seorang teolog Katolik dari Universitas Villanova, menilai surat Paus Fransiskus sebagai pesan tersirat untuk Vance dan bentuk peringatan bagi para pemimpin Gereja di Amerika Serikat.
"Ada beberapa uskup di sini yang perlu memutuskan apakah mereka akan mengikuti arahan J.D. Vance atau tetap setia kepada Vatikan," ujar Faggioli.
Menurutnya, Vatikan ingin menegaskan bahwa "Katolik versi Vance bukanlah representasi Katolik universal," tambahnya.
Ketegangan antara Vatikan dan Gedung Putih
Ketegangan antara Vatikan dan pemerintahan Trump semakin meningkat seiring dengan rencana pemotongan dana yang selama ini digunakan kelompok keagamaan untuk membantu para migran. Vance secara terbuka mempertanyakan apakah upaya Gereja Katolik dalam menangani migran lebih didorong oleh kepentingan finansial, yang memicu kekecewaan di kalangan pemimpin Katolik.
Organisasi uskup Katolik bekerja dengan para imigran melalui Catholic Charities, yang menjalin kontrak dengan pemerintah AS untuk menampung pengungsi yang telah disaring. Seperti banyak kelompok bantuan lainnya, organisasi ini juga menerima dana publik, termasuk selama masa jabatan pertama Trump, untuk menyediakan layanan dasar seperti tempat tinggal dan makanan bagi para migran di perbatasan.
Namun, Catholic Charities kini menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja di seluruh negeri karena ketidakpastian pendanaan. Catholic Relief Services, organisasi internasional yang didirikan oleh Konferensi Waligereja Katolik AS, juga mengalami dampak serupa setelah pendanaannya dari Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) dikurangi, memaksa mereka untuk menutup sejumlah program dan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Dalam suratnya, Paus Fransiskus menegaskan kembali bahwa menjadikan status hukum sebagai dasar kriminalisasi terhadap imigran merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat manusia yang "akan berakhir buruk."
"Kesejahteraan bersama yang sejati terwujud ketika masyarakat dan pemerintah, dengan kreativitas dan penghormatan yang ketat terhadap hak semua orang, seperti yang telah saya tegaskan dalam banyak kesempatan mampu menyambut, melindungi, mempromosikan, dan mengintegrasikan mereka yang paling rentan serta tidak terlindungi," tulisnya. (
Muhammad Reyhansyah)
Baca juga:
Halau Imigran, Trump Kirim 1.500 Tentara Tambahan ke Perbatasan AS-Meksiko