Komnas HAM. Foto: MI.
Jakarta: Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengatakan bahwa revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus menjawab persoalan mendasar dalam praktik peradilan pidana di Indonesia. Sebab, peradilan Indonesia dinilai mengabaikan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
“Selama ini praktik peradilan pidana Indonesia rentan dan mengabaikan prinsip due process of law (proses hukum yang adil), presumption of innocence (praduga tak bersalah), dan perlindungan hak-hak kelompok rentan,” kata Atnike dikutip dari Media Indonesia, Rabu, 21 Mei 2025.
Atnike mengungkapkan Komnas HAM telah memberikan beberapa rekomendasi dalam kajian RUU KUHAP pada 2023. Salah satunya dibutuhkan kajian lebih mendalam untuk memperbaiki muatan RUU KUHAP.
Pada tahun ini, Komnas HAM juga memfokuskan kajiannya pada perkembangan peraturan pidana. Dalam kajian yang tengah disusun, Atnike menjelaskan terdapat sejumlah pokok pengaturan peradilan pidana yang menjadi atensi dan diusulkan untuk diubah.
"Seperti penyelidikan, penyidikan, upaya paksa, dan praperadilan," ungkap dia.
Kajian tersebut juga meliputi pengaturan keadilan restoratif, hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban, hak-hak kelompok disabilitas, perempuan, dan lansia, bantuan hukum, upaya hukum serta pembuktian dan konektivitas.
“Melalui kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan oleh DPR RI untuk mengidentifikasi berbagai tantangan serta merumuskan rekomendasi yang konstruktif dalam pembaruan hukum acara pidana berbasis HAM,” jelas Atnike.
Komnas HAM juga mendorong agar pembahasan revisi KUHAP mengedepankan tiga prinsip kunci partisipasi publik. Yakni, memenuhi hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan.
“Komnas HAM meminta agar pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara partisipatif untuk mendorong pendekatan hukum acara yang menjunjung prinsip keadilan substantif, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan penghormatan terhadap HAM,” kata Atnike.
Selain itu, Atnike menyambut baik langkah DPR RI untuk membahas KUHAP baru secara komprehensif dan tidak tergesa-gesa. Langkah ini dinilai sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis, sekaligus menjadi bagian penting dari upaya demokratisasi hukum dan penguatan sistem peradilan pidana yang menjunjung tinggi prinsip HAM.
Dia menjelaskan hak untuk didengar merupakan hak publik untuk memiliki kesempatan menyampaikan pendapat secara bebas dan efektif dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat, konsultasi, atau forum diskusi RUU KUHAP secara terbuka.
Sementara itu, hak untuk dipertimbangkan merupakan hak publik agar masukan dan pendapat yang disampaikan mengenai RUU dimaksud dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
“Sehingga masukan dan pendapat ini tidak hanya didengar namun dianalisis dan dipertimbangkan dalam muatan kebijakan,” kata Atnike.
Adapun hak untuk mendapatkan penjelasan meliputi perlunya publik mendapatkan penjelasan secara terang dan transparan tentang kebijakan atau keputusan yang diambil, terlebih jika keputusan tersebut berbeda dengan masukan dan pendapat yang disampaikan.
“Partisipasi publik dan sinergi antarlembaga menjadi kunci utama dalam memastikan terwujudnya sistem hukum acara pidana yang lebih humanis dan berkeadilan,” ucap Atnike.
Dia menegaskan, Komnas HAM berkomitmen memberikan kontribusi berbasis data, analisis hukum, dan prinsip-prinsip HAM agar RUU KUHAP dapat menjadi instrumen hukum yang tidak hanya prosedural, tetapi juga transformatif.
“Komnas HAM mengajak seluruh elemen masyarakat secara aktif memberikan masukan dan ikut mengawal proses pembaruan KUHAP demi mewujudkan sistem hukum yang lebih berpihak pada keadilan dan kemanusiaan yang berperspektif HAM,” tukasnya.
Menurut Atnike, masukan dari berbagai pihak diperlukan guna memastikan pembaruan KUHAP benar-benar menjawab kebutuhan keadilan masyarakat serta menjamin penghormatan terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan seluruh pihak dalam peradilan pidana.