Netanyahu Tolak Kesepakatan Komprehensif dengan Faksi Palestina di Gaza

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Foto: EPA-EFE

Netanyahu Tolak Kesepakatan Komprehensif dengan Faksi Palestina di Gaza

Fajar Nugraha • 11 July 2025 07:06

Washington: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa mencapai kesepakatan komprehensif dengan faksi-faksi Palestina di Gaza, termasuk pembebasan semua sandera Israel, saat ini tidak mungkin.

Netanyahu menyampaikan pernyataan tersebut dalam pertemuan dengan keluarga sandera Israel yang ditawan oleh kelompok-kelompok Palestina di Gaza di sela-sela kunjungannya ke Washington, Amerika Serikat (AS).

"Kesepakatan komprehensif untuk membebaskan semua sandera tidak mungkin tercapai," kata Netanyahu kepada keluarga-keluarga tersebut, seperti dikutip oleh harian Israel, Yedioth Ahronoth, seperti dikutip dari Anadolu, Jumat 11 Juli 2025.

Menurut harian tersebut, Netanyahu mencoba membujuk keluarga-keluarga tersebut "untuk mendukung kesepakatan sandera parsial," dan membenarkan pendekatan tersebut dengan merujuk pada rencana yang dirahasiakan yang ia bagikan dengan Presiden AS Donald Trump.

Hanya dua kesepakatan gencatan senjata parsial yang telah dicapai antara Israel dan Hamas selama 20 bulan terakhir; satu pada November 2023 dan satu lagi pada Januari 2025. Keduanya mencakup pertukaran tahanan terbatas.

Namun, Netanyahu membatalkan kesepakatan terbaru dan melanjutkan serangan mematikan Israel di Gaza pada 18 Maret. Para pemimpin oposisi Israel menuduh Netanyahu hanya mengupayakan kesepakatan parsial untuk memperpanjang perang demi keuntungan politik pribadi dan untuk memuaskan sayap kanan ekstrem di pemerintahannya.

Negosiasi tidak langsung sedang berjalan di Doha, Qatar, antara Israel dan Hamas untuk menyelesaikan kesepakatan yang mencakup gencatan senjata dan pertukaran tahanan.

Menurut Yedioth Ahronoth, proposal terbaru mencakup gencatan senjata 60 hari di mana Hamas akan membebaskan 10 sandera hidup dalam dua tahap - delapan pada hari pertama dan dua pada hari ke-50. Rencana tersebut menunjuk Trump sebagai penjamin untuk mengakhiri perang di tahap-tahap selanjutnya.

"Dalam 60 hari pertama, kami akan mendapatkan kembali 10 sandera. Itu bagian dari prosesnya. Kemudian kami akan membicarakan tentang mengakhiri perang. Kita harus bersabar," kata Netanyahu.

Menanggapi hal ini, Hamas mengatakan: "Pernyataan penjahat perang Netanyahu, yang memberi tahu keluarga para tahanan bahwa kesepakatan komprehensif tidak mungkin dicapai, menegaskan niat jahat dan buruknya dengan menghalangi tercapainya kesepakatan yang akan mengarah pada pembebasan para tahanan dan penghentian agresi terhadap rakyat Palestina kami di Gaza."

Gerakan tersebut menegaskan bahwa mereka "sebelumnya telah menawarkan untuk mencapai kesepakatan pertukaran komprehensif, di mana semua tahanan akan dibebaskan sekaligus, dengan imbalan kesepakatan yang mencapai gencatan senjata permanen, penarikan penuh tentara pendudukan, dan aliran bantuan yang bebas."

Namun, Netanyahu, menurut pernyataan tersebut, "menolak tawaran ini pada saat itu dan terus menghindari serta menghalangi lebih banyak lagi."

Selain itu, Otoritas Penyiaran Israel (KAN) mengklaim adanya perbedaan pendapat mendasar selama negosiasi yang sedang berlangsung antara kedua pihak, terkait peta terbaru penarikan tentara Israel dari Jalur Gaza, yang tidak diterima Hamas.

Keluarga para sandera terus menuntut kesepakatan penuh untuk memulangkan semua tawanan Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.

Israel memperkirakan 50 sandera masih berada di Gaza, termasuk 20 orang yang diyakini masih hidup. Sementara itu, lebih dari 10.800 warga Palestina ditahan di penjara-penjara Israel, di mana mereka menghadapi penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis yang telah menyebabkan banyak kematian, menurut kelompok hak asasi manusia Israel dan Palestina serta berbagai media.

Setelah pertemuan mereka di Gedung Putih pada Rabu malam, keluarga para sandera mengatakan mereka menyambut baik komitmen pemerintahan Trump untuk memulangkan semua tawanan Israel. Dalam sebuah pernyataan, mereka menyebut hilangnya kesempatan ini sebagai "kegagalan politik dan moral yang serius."

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)