Revisi KUHAP Didorong Atur Mekanisme Pengujian Penyadapan hingga Penahanan

Kontras/Ilustrasi/Istimewa

Revisi KUHAP Didorong Atur Mekanisme Pengujian Penyadapan hingga Penahanan

M Sholahadhin Azhar • 17 July 2025 22:14

Jakarta: Revisi KUHAP didorong mengatur soal mekanisme pengujian kewenangan aparat penegak hukum melakukan penyadapan, penangkapan, dan penahanan seseorang. Hal ini untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.

"(KontraS ingin) wewenang penyadapan, penangkapan, penahanan tidak dilakukan dengan sewenang-wenang. Nah ini yang mau kita dorong ada di KUHAP," ujar peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Hans G Yosua, di Jakarta, Kamis, 17 Juli 2025. 

Pihaknya tak masalah adanya kewenangan penegak hukum melakukan penyadap, penangkapan, dan penahanan terhadap sesorang. Namun, aturan tersebut harus dibarengi dengan cara menguji kewenangan itu sah atau tidak. 

"Jadi oke diberikan wewenang penegak hukumnya, tapi hak warga negara juga dijamin, termasuk hak-hak kelompok minoritas, kelompok disabilitas misalnya," tutur dia. 
 

Baca: DPR Menolak Disebut Ugal-ugalan Revisi KUHAP

Hans menjelaskan ketiga kewenangan tersebut merupakan upaya paksa. Sehingga, harus bisa dipastikan apakah upaya paksa itu sudah sesuai, misalnya dengan prinsip yang diatur dalam hak asasi manusia (HAM). 

"Jaminan itu diatur secara normatif, tanpa ada mekanisme menguji, misalnya upaya paksa yang dilakukan itu sudah sesuai prinsip HAM atau tidak. Nah itu yang tidak ada di KUHAP hari ini," tutur dia. 

Menurut dia, dalam KUHAP yang sekarang berlaku maupun yang akan direvisi, tak ada pasal yang mengatur tentang pengujian penyadapan, penangkapan, dan penahanan. KontraS mendorong adanya mekanisme hakim pemeriksa pendahuluan atau hakim komisaris, yang menguji sah tidaknya penggunaan tiga kewenangan tadi. 

Jika tidak diatur, artinya tak ada perubahan signifikan dari KUHAP lama maupun baru nantinya. 

"Sepertinya tidak ada perbedaan antara KUHAP yang lama dengan KUHAP yang baru," kata dia. 

KontraS juga menyoroti penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan. Pihaknya berharap hal itu tak dilakukan dengan menyudutkan korban dalam peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Terutama yang terjadi semasa Orde Baru. 

"Sejarah Indonesia saat Orde Baru sampai Reformasi, banyak peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi, sangat disayangkan jika peristiwa itu dituliskan dengan tone yang mungkin mendiskreditkan korban atau terkesan menyalahkan korban," ujar dia. 

Pihaknya menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998. Menurut dia, hasil penyelidikan Komnas HAM telah menyimpulkan, hal itu benar-benar terjadi. Sehingga, penyangkalan itu tak tepat. 

"Sangat tidak tepat ya mau disangkal peristiwa yang terjadi di '98," ujar Hans.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)