Misil India. (via Asia-Pacific Leadership Network)
Jakarta: Konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan kembali meledak menjadi krisis besar setelah Pakistan mengklaim telah menargetkan beberapa pangkalan militer India pada Sabtu pagi, 10 Mei 2025.
Serangan ini disebut sebagai balasan atas tembakan rudal India terhadap tiga pangkalan udara Pakistan sehari sebelumnya. Situasi ini memperparah ketegangan yang sudah tinggi sejak serangan berdarah di Pahalgam, Kashmir yang dikuasai India, pada 22 April lalu.
Al Jazeera mencatat bahwa serangan itu menewaskan 25 wisatawan dan seorang pemandu lokal, dan India menyalahkan kelompok yang diduga didukung Pakistan.
Ketegangan di kawasan Asia Selatan bukan hal baru, namun perkembangan terbaru ini terjadi di tengah iklim retorika militer yang meningkat dan persenjataan strategis yang sudah sangat berkembang di kedua negara.
Baik India maupun Pakistan sama-sama memiliki senjata nuklir dan sistem peluncur canggih, serta sejarah panjang konfrontasi sejak pemisahan tahun 1947. Dengan tidak adanya forum dialog aktif dan meningkatnya narasi nasionalisme di masing-masing negara, banyak pihak mulai mengkhawatirkan: mungkinkah konflik ini mengarah pada skenario terburuk—perang nuklir?
“Itu akan menjadi tindakan bodoh bagi kedua belah pihak... Sangat tidak mungkin senjata nuklir digunakan, tapi bukan berarti mustahil,” ujar Dan Smith, Direktur Stockholm International Peace Research Institute, dikutip dari Al Jazeera, Sabtu, 10 Mei 2025.
Untuk menyimak kelanjutan konflik ini, bukan hal yang salah untuk melihat doktrin penggunaan nuklir masing-masing negara dan situasi macam apa yang akan mendorong mereka untuk melakukan tindakan yang "bodoh" tersebut, berikut ulasannya.
India: Doktrin Nuklir yang Terikat Prinsip No First Use
India secara resmi menjadi negara bersenjata nuklir setelah serangkaian uji coba pada Mei 1998, meski uji coba pertamanya berlangsung pada 1974. Doktrin nuklir India diterbitkan pada 2003 dan belum pernah direvisi secara resmi hingga kini. Arsitek doktrin ini adalah K. Subrahmanyam, tokoh strategi India dan ayah dari Menteri Luar Negeri saat ini, S. Jaishankar.
Melansir Al-Jazeera, berikut 4 doktrin India dibangun di atas empat prinsip utama:
1. Bukan Pihak Pertama yang Menggunakan Nuklir (NFU)
India tidak akan menjadi pihak pertama yang menggunakan senjata nuklir (
No First Use). Penggunaan senjata nuklir hanya akan dilakukan sebagai balasan jika India atau pasukannya menjadi korban serangan nuklir, baik di wilayah nasional maupun luar negeri. India juga berkomitmen tidak akan menggunakan senjata nuklir terhadap negara non-nuklir.
2. Nuklir sebagai Pencegah
Tujuan utama dari persenjataan nuklir India adalah untuk mencegah musuh melancarkan serangan nuklir terlebih dahulu. India tidak menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), dengan alasan bahwa perlucutan senjata harus dilakukan secara universal dan adil sebelum India ikut melucuti arsenalnya.
3. Nuklir sebagai Bentuk Pembalasan
Jika diserang dengan senjata nuklir, India akan membalas dengan serangan nuklir besar-besaran yang bertujuan menghancurkan kemampuan militer lawan secara total. Ini merupakan bentuk penangkalan ekstrem agar tidak ada pihak yang mencoba menyerang lebih dulu.
4. Pengecualian terhadap Senjata Kimia dan Biologis
Jika India menjadi sasaran senjata kimia atau biologis, meskipun tidak nuklir, maka negara ini tetap membuka kemungkinan membalas menggunakan senjata nuklir.
Meskipun prinsip NFU secara resmi masih berlaku, sejumlah tokoh penting di India telah mengisyaratkan kemungkinan perubahan. Pada 2016, Menteri Pertahanan Manohar Parrikar mempertanyakan perlunya tetap berpegang pada NFU.
Lalu pada 2019, Menteri Pertahanan Rajnath Singh menyatakan bahwa meski NFU masih dipegang, hal itu “bisa berubah tergantung situasi di masa depan.”
Sejumlah pengamat menilai bahwa jika India mulai mengadopsi ambiguitas strategis seperti Pakistan, maka risiko salah kalkulasi meningkat karena lawan tidak akan mengetahui di mana “garis merah” India berada. Namun, ada juga pandangan bahwa ambiguitas bisa memperkuat penangkalan karena meningkatkan ketidakpastian bagi lawan.
Pakistan: Ambiguitas Strategis dan Empat Pemicu
Berbeda dari India, Pakistan tidak memiliki doktrin nuklir resmi yang tertulis. Negara itu sengaja memilih pendekatan “ambiguitas strategis” sebagai bagian dari upaya penangkalan terhadap kekuatan militer konvensional India.
Namun, pada tahun 2001, Letjen (Purn.) Khalid Ahmed Kidwai—penasihat Komando Nuklir Pakistan—menyebutkan empat skenario yang dapat memicu penggunaan senjata nuklir oleh Pakistan:
- Kehilangan wilayah dalam jumlah besar (spatial threshold);
- Penghancuran kekuatan militer darat atau udara dalam skala besar (military threshold);
- Tekanan ekonomi besar seperti pemblokiran (economic threshold);
- Destabilisasi politik besar atau kerusuhan internal yang masif (political threshold).
Pakistan juga telah mengembangkan senjata nuklir taktis (TNW), yaitu senjata nuklir jarak pendek yang dirancang untuk penggunaan terbatas di medan perang. Meski disebut “taktis”, daya ledak senjata ini bisa mencapai hingga 300 kiloton—20 kali lipat bom Hiroshima.
Menurut Al Jazeera, penggunaan senjata ini tetap membawa risiko besar terhadap populasi di wilayah perbatasan Pakistan sendiri.
Pada Mei 2024, Kidwai menyatakan secara tegas bahwa Pakistan “tidak memiliki kebijakan No First Use,” menegaskan bahwa Islamabad tetap membuka kemungkinan menjadi pihak pertama yang menggunakan senjata nuklir jika dianggap perlu.
India dan Pakistan masing-masing memiliki lebih dari 170-180 hulu ledak nuklir. Jika konflik terbuka terjadi di antara dua negara bersenjata nuklir ini, dunia menghadapi risiko perang nuklir pertama dalam sejarah umat manusia.
Meskipun kemungkinan penggunaan senjata nuklir masih dinilai kecil, namun pernyataan pejabat kedua negara menunjukkan bahwa opsi tersebut tetap ada di atas meja.
Ketiadaan transparansi tentang garis merah dan kebijakan aktual, serta potensi salah kalkulasi, membuat situasi ini semakin genting. Dunia internasional kini memantau ketat perkembangan terbaru, berharap bahwa doktrin-doktrin nuklir yang ada tidak berubah menjadi kenyataan mengerikan.