Rupiah. Foto: Metrotvnews.com/Husen.
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami pelemahan, meski tipis.
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 3 Juni 2025, rupiah pada pukul 09.12 WIB berada di level Rp16.264 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 11 poin atau setara 0,07 persen dari Rp16.275 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.292 per USD. Rupiah masih tak bergerak dari penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan kembali menguat.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.200 per USD hingga Rp16.250 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Memanasnya tensi dagang AS-Tiongkok
Ibrahim mengungkapkan, pergerakan rupiah dipengaruhi oleh sentimen kekhawatiran akan eskalasi
perang dagang AS-Tiongkok meningkat setelah Presiden AS Donald Trump menuduh Tiongkok melanggar kesepakatan dagang baru-baru ini, yang ditegur Beijing.
"Pasar juga terguncang oleh kenaikan tarif impor baja dan aluminium Trump, yang membuat investor tidak yakin atas kebijakan AS," tutur dia.
Meningkatnya aksi militer antara Rusia dan Ukraina, menjelang perundingan damai, juga membebani sentimen. Sementara laporan menunjukkan Washington sedang mempertimbangkan tarif dagang yang ditujukan ke Tiongkok dan India untuk mengurangi pembelian minyak Rusia.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Tren kontraksi PMI Manufaktur terus berlanjut
Sementara dari dalam negeri, Ibrahim memandang tren kontraksi Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang terus berlanjut juga turut mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.
Adapun pada Mei 2025. PMI Manufaktur Indonesia tercatat di level 47,4 atau masih di bawah ambang batas normal yakni 50. Namun, angka ini meningkat dibanding bulan sebelumnya sebesar 46,7.
Berdasarkan laporan S&P Global, sektor manufaktur Indonesia terus mengalami penurunan pada pertengahan menuju triwulan kedua dipicu turunnya output dan permintaan baru yang terus melemah sejak April lalu.
"Penurunan permintaan pesanan baru pada Mei 2025 merupakan kondisi terparah dalam waktu hampir empat tahun terakhir yag menyebabkan anjloknya volume produksi," papar Ibrahim.
Kinerja ekspor juga disebut terus menurun, sementara perusahaan manufaktur nasional masih berupaya menyesuaikan inventaris dan tingkat pembelian menanggapi kondisi permintaan yang lemah.
Kendati demikian, jika melihat tingkat keyakinan pengusaha disebut masih menguat lantaran perkiraan output produksi yang masih menguat dan upaya menyerap tenaga kerja.