Jakarta: Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) digelar serentak pada 23 Juli 2025. Komitmen pemerintah dan publik terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak kembali menjadi sorotan.
Indonesia, bersama 195 negara lainnya meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child atau CRC). Perjanjian internasional ini menjadi landasan perlindungan anak secara global dan telah membawa perubahan besar dalam kebijakan perlindungan anak di banyak negara.
Namun, di tengah semangat global untuk menjamin hak-hak anak, satu negara justru menonjol karena ketidakhadirannya dalam daftar peratifikasi: Amerika Serikat (AS). Lebih dari tiga dekade sejak CRC diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 1989, AS tetap belum mengesahkan konvensi tersebut.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di dunia internasional—apa yang sebenarnya membuat negara yang sering memposisikan diri sebagai penjaga hak asasi manusia ini memilih untuk tidak meratifikasi perjanjian paling universal tentang hak anak?
Ditandatangani tapi Tak Pernah Diratifikasi
Melansir penjelasan The Economist pada 7 Oktober 2013,
AS telah menandatangani Konvensi Hak
Anak pada 1995 di masa pemerintahan Presiden Bill Clinton. Penandatanganan menandakan kesediaan moral untuk menerima prinsip-prinsip CRC, namun tidak menjadikannya mengikat secara hukum.
Untuk menjadi sah, konvensi itu harus diratifikasi oleh Senat dengan mayoritas dua pertiga. Sejak saat itu, tak satu pun presiden berhasil membawa CRC ke meja pemungutan suara — termasuk Barack Obama yang sempat menyatakan dukungan.
Alasan Penolakan: Kedaulatan, Otoritas Orang Tua, dan Ketakutan Hukum
Melansir The Economist, beberapa senator Partai Republik dan kelompok konservatif menilai CRC mengancam kedaulatan hukum nasional.
Mereka khawatir prinsip "kepentingan terbaik bagi anak" dalam konvensi ini akan memberi wewenang berlebihan pada pemerintah, termasuk untuk mengintervensi cara orang tua mendidik
anak, terutama dalam isu sensitif seperti pendidikan seks dan agama.
Menurut laporan dari organisasi ParentalRights.org, mereka memandang CRC dapat merusak hak orang tua atas pendidikan moral anak. Michael Farris, pendiri organisasi tersebut, menyebut bahwa pemerintah bisa saja menggugat keputusan orang tua jika dianggap bertentangan dengan interpretasi negara atas "kepentingan terbaik anak".
Selain itu, sebagaimana dicatat dalam tulisan FarzadLaw tahun 2024, ada kekhawatiran bahwa ratifikasi CRC akan membuka jalan bagi tuntutan hukum terhadap negara atas hak-hak sosial dan ekonomi, seperti layanan kesehatan atau pendidikan publik, yang dijamin dalam dokumen tersebut.
Ketakutan lain yang muncul adalah kekhawatiran bahwa CRC dapat mempersulit penerapan hukum domestik yang sudah ada. Misalnya, usia legal untuk menyetujui hubungan seksual berbeda antarnegara bagian di AS, dan hal ini berpotensi bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dalam CRC.
Penentuan usia minimum kerja di sektor pertanian juga menjadi sorotan, karena
anak-anak berusia 12 tahun di AS dapat bekerja dalam kondisi yang melelahkan tanpa batasan jam kerja yang jelas.
Kontradiksi: Gembor-Gembor Hak Anak Tapi Ratifikasi Konvensi Ogah
Meski AS dikenal sebagai advokat perlindungan
anak di forum internasional, posisi ini kerap dikritik karena ironis. Mengutip pernyataan Jo Becker dari Human Rights Watch dalam The Economist, “Saat AS mendorong negara lain menghormati hak anak, mereka (negara lain) sering membalas, ‘Kami sudah meratifikasi CRC — Anda belum.’”
Padahal, masih banyak masalah perlindungan
anak di dalam negeri AS yang belum sejalan dengan standar CRC. Misalnya, hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat untuk anak di bawah 18 tahun masih diperbolehkan di sejumlah negara bagian, dan lebih dari 15.000 anak migran ditahan di fasilitas yang padat pada 2021.
Semua ini bertentangan dengan pasal-pasal dalam CRC yang melarang perlakuan kejam, diskriminatif, atau penahanan sewenang-wenang.
Laporan FarzadLaw juga mencatat bahwa lebih dari 4,3 juta
anak di AS tidak memiliki asuransi kesehatan dan sekitar 1,5 juta anak mengalami tunawisma. Selain itu, lebih dari 10.000 anak terjerat dalam perdagangan seks komersial setiap tahun, menyoroti ketimpangan besar dalam perlindungan hukum di berbagai yurisdiksi.
Lebih dari 30 tahun sejak diadopsi, Konvensi Hak
Anak tetap belum diratifikasi oleh satu-satunya negara adidaya dunia. Meski sebagian besar hukum domestik AS sudah selaras dengan prinsip CRC, hambatan politik, ideologis, dan struktural masih menghadang.
Sementara dunia merayakan Hari Anak Nasional dan memperkuat komitmen untuk generasi masa depan, absennya AS dari CRC terus menjadi simbol kontroversial — antara idealisme hak anak dan realitas politik dalam negeri.