Makan Bergizi Gratis: Antara Janji Surga dan Dapur Neraka

Ketum Prokes NasDem Cashtry Meher. Foto: Istimewa.

Makan Bergizi Gratis: Antara Janji Surga dan Dapur Neraka

Medcom • 24 September 2025 08:59

Oleh: Ketum Prokes NasDem DR. dr. Cashtry Meher, M.Kes., M.Ked(KK), Sp.DVE, MH.Kes., FINSDV

Konon, program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah mahakarya politik yang akan mencetak generasi emas. Katanya, anak-anak akan tumbuh cerdas, sehat, dan penuh energi. Namun, di lapangan, sering kali yang tersaji bukan “makanan bergizi”, melainkan makanan bergizi-gizian: nasi dingin, lauk seadanya, sayur layu, bahkan ulat dan belatung kadang ikut nimbrung. Akibatnya, hingga September 2025, lebih dari 5.000 siswa terkapar akibat keracunan massal di belasan provinsi.

Jargon “gratis” justru menjadi pintu masuk biaya sosial yang tidak pernah gratis: korupsi anggaran, penyalahgunaan wewenang, dan melemahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam politik kesehatan, MBG sering kali hanyalah kosmetik: lipstick on a pig. Kelihatan cantik di baliho, tapi membusuk di meja makan rakyat.

Belajar dari Dapur Dunia

Beberapa negara sudah lebih dulu menggagas program serupa. India misalnya, lewat Midday Meal Scheme, berhasil meningkatkan angka kehadiran siswa. Namun, skandal keracunan massal pada 2013 yang menewaskan lebih dari 20 anak di Bihar menjadi catatan kelam: ketika standar gizi dikorbankan demi penghematan, nyawa melayang sebagai gantinya.

Di Brasil, Fome Zero (Zero Hunger Program) berhasil menekan angka malnutrisi dengan mengintegrasikan petani lokal ke rantai suplai makanan sekolah. Bukan hanya anak yang kenyang, petani pun sejahtera. Di Amerika Serikat, program National School Lunch menghadapi kritik soal obesitas akibat dominasi menu cepat saji yang dilabeli “nutritious” dengan standar rendah. Sementara itu, di Indonesia, MBG masih terjebak dalam romantisme politik: lebih sering jadi alat pencitraan ketimbang instrumen pembangunan kesehatan bangsa.

Politik Kesehatan dan Ketahanan Nasional

Kesehatan bukan sekadar urusan medis, melainkan investasi politik. Program MBG, jika gagal, bisa menjadi boomerang policy: alih-alih melahirkan generasi cerdas, justru mencetak generasi setengah lapar. Dalam konteks ketahanan kesehatan nasional, makanan gratis seharusnya tidak hanya menjawab “kenyang hari ini”, tetapi juga “tangguh esok hari”.

Ketahanan kesehatan adalah kemampuan bangsa menjaga rakyatnya tetap sehat meski digempur krisis pangan, inflasi, hingga pandemi. Artinya, MBG tidak boleh berhenti di piring plastik murahan dengan lauk sekadarnya, melainkan harus menjadi bagian dari ekosistem ketahanan pangan, pengendalian gizi, dan pemerataan kesehatan.

Kebijakan makan bergizi gratis tidak bisa dipandang sekadar proyek jangka pendek, melainkan harus diletakkan dalam kerangka pembangunan manusia yang berkesinambungan. Bila negara gagal merancangnya dengan visi panjang, program ini hanya akan berakhir sebagai “ritual bagi-bagi nasi bungkus” yang penuh simbolisme politik, tetapi kosong dari strategi ketahanan bangsa. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa negara yang abai terhadap gizi generasi mudanya akan membayar harga mahal: produktivitas rendah, biaya kesehatan meningkat, dan stabilitas sosial terganggu. Dengan kata lain, piring bergizi hari ini adalah pondasi stabilitas politik dan ekonomi esok hari.

Ilustrasi MBG. Foto: MI.

Lebih jauh lagi, MBG seharusnya menjadi instrumen diplomasi domestik dalam menyeimbangkan kepentingan lintas sektor: kesehatan, pendidikan, pertanian, hingga ekonomi. Bayangkan jika setiap bahan pangan dalam program ini berasal dari petani lokal, didistribusikan oleh koperasi desa, dan dikelola secara transparan. Maka, yang tercipta bukan sekadar makanan gratis, melainkan sebuah rantai nilai yang menghidupkan desa, mengurangi ketergantungan impor pangan, dan memperkuat ketahanan kesehatan nasional. Dengan demikian, politik kesehatan tidak berhenti pada “pencitraan dapur”, melainkan menjelma menjadi strategi ketahanan bangsa yang konkret.

(Bancakan) di Balik Dapur Anggaran

Mari kita jujur. Sering kali dapur program MBG lebih hangat oleh aroma markup ketimbang aroma masakan. Dana bergizi habis di perjalanan, sementara anak-anak hanya kebagian sisanya. Dalam teori ekonomi politik, ini disebut sebagai policy capture—kebijakan dikuasai elit dan kontraktor, rakyat sekadar konsumen dari kebohongan berjamaah.

Apakah kita rela membiarkan masa depan bangsa ditentukan oleh kontrak katering abal-abal yang lebih lihai melobi daripada memasak? Ironisnya, setiap kali kebocoran anggaran terbongkar, jawaban yang muncul biasanya hanyalah “sedang dievaluasi” atau “akan ditingkatkan koordinasi”. Padahal, masalah utamanya bukan kurang koordinasi, melainkan keserakahan yang sudah terstruktur. Selama politik anggaran lebih diperlakukan sebagai bancakan ketimbang amanah, program MBG hanya akan menjadi all you can eat bagi elit, sementara rakyat kecil harus puas dengan remah-remah yang tersisa.

Dari Dapur Citra ke Dapur Bangsa

Membenahi program Makan Bergizi Gratis bukan sekadar soal menambah anggaran atau mengganti kontraktor. Namun membutuhkan keberanian politik untuk keluar dari jebakan gimmick pencitraan menuju strategi nyata yang menyentuh dapur rakyat. Jika tidak, program ini hanya akan menjadi etalase kosong yang indah di poster, tapi rapuh di lapangan.

Agar MBG benar-benar menjadi investasi kesehatan bangsa, ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:
  • Integrasi dengan Petani Lokal
Belajar dari Brasil, keterlibatan petani lokal sebagai penyedia bahan pangan bukan hanya menjamin kualitas, tapi juga memperkuat ketahanan pangan desa.
  • Transparansi Anggaran Digital
Dana MBG harus bisa ditelusuri secara real-time oleh publik lewat platform digital. Masyarakat bisa tahu berapa harga telur, sayur, dan lauk yang dibeli. Jika ada kejanggalan, publik jadi auditor gratis.
  • Standar Gizi dan Audit Berkala
Menu MBG wajib disusun ahli gizi, bukan kontraktor. Audit mutu pangan harus dilakukan secara acak di lapangan, bukan di atas kertas laporan.
  • Keterlibatan Komunitas Sekolah
Orang tua, guru, bahkan siswa bisa ikut memantau dan menilai kualitas makanan. Partisipasi publik adalah vaksin paling ampuh melawan korupsi.

Program Makan Bergizi Gratis kini menjadi ujian kita sebagai bangsa: apakah negara benar-benar serius menyiapkan generasi emas, atau sekadar menjadikan anak-anak sebagai props politik dalam panggung demokrasi murahan?

Jika program ini gagal dibenahi, sejarah akan menertawakan kita: bangsa yang sibuk berbicara tentang bonus demografi, tapi hanya mampu menyajikan bonus lapar. Pertanyaan retorisnya sederhana: Apakah kita sedang membangun dapur bangsa yang mengenyangkan, atau dapur busuk yang perlahan meracuni masa depan?

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)