Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Foto: EFE
Fajar Nugraha • 24 March 2025 13:12
Gaza: Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menuduh Israel menggunakan air sebagai senjata perang untuk menggusur warga Palestina dari Jalur Gaza. Pernyataan ini disampaikan dalam pidatonya pada Hari Air Sedunia.
Abbas mengecam tindakan Israel yang menghentikan layanan dasar, termasuk pasokan air, dan menghalangi akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.
“Pendudukan (Israel) menggunakan senjata lain untuk meningkatkan penderitaan, pengungsian, dan kematian perlahan-lahan rakyat kami,” ujar Abbas, dikutip dari Anadolu, Senin, 24 Maret 2025. Dia menambahkan bahwa tindakan ini bertentangan dengan konvensi hak asasi manusia internasional dan resolusi PBB.
Abbas menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengambil “langkah-langkah praktis dan radikal” guna mengatasi krisis air yang semakin parah di Gaza.
“Dunia harus menyadari bahwa tidak ada penyebab yang lebih penting daripada penyebab anak-anak Palestina di Gaza, yang mengantri berjam-jam untuk mendapatkan satu liter air, meminum air yang terkontaminasi, dan kekurangan makanan serta obat-obatan,” kata Presiden Abbas.
Presiden Palestina itu juga menekankan bahwa penggunaan air sebagai senjata perang oleh Israel adalah bagian dari kebijakan sistematis yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
“Ini adalah upaya untuk menjarah dan mengendalikan semua sumber daya air permukaan dan air tanah, mencabut warga Palestina dari tanah mereka, dan melaksanakan agenda politik Israel untuk memperluas pemukiman ilegal serta merongrong solusi dua negara,” ujar Abbas.
Seraangan udara Israel ke Gaza sejak Selasa, 18 Maret 2025, telah menewaskan lebih dari 700 warga Palestina dan melukai lebih dari 1.000 orang. Serangan ini juga merusak gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tawaran tawanan perang yang telah disepakati Januari 2025.
Sejak Oktober 2023, serangan militer Israel di Gaza telah menewaskan hampir 50.000 warga Palestina, sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 113,000 orang. Situasi ini diperparah dengan krisis air dan listrik yang melanda wilayah tersebut.