Sebut Relokasi Gaza, Trump Dituding Dukung Upaya Genosida

Post-war Gaza. (EPA)

Sebut Relokasi Gaza, Trump Dituding Dukung Upaya Genosida

Riza Aslam Khaeron • 29 January 2025 15:49

Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu kontroversi setelah mengusulkan pemindahan warga Gaza ke negara-negara tetangga. Dalam pernyataannya, Trump mengklaim bahwa penduduk Gaza akan lebih aman jika tinggal di tempat lain, jauh dari konflik yang berkepanjangan.

"Saya ingin mereka tinggal di tempat yang lebih aman, tanpa gangguan, revolusi, dan kekerasan seperti yang mereka alami di Gaza," ujar Trump kepada awak media di Air Force One, Senin, 27 Januari 2025, seperti dikutip dari Al-Arabiya, Rabu, 29 Januari 2025.

Pernyataan ini langsung memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk kelompok hak asasi manusia dan pemimpin Timur Tengah, yang menilai rencana tersebut sebagai bentuk pemindahan paksa yang melanggar hukum internasional.
 

Usulan Relokasi dan Respons Internasional

Trump mengungkapkan bahwa ia telah berdiskusi dengan Raja Abdullah II dari Yordania dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengenai kemungkinan menerima pengungsi dari Gaza. "Saya berharap mereka mau menerima sebagian, mengingat kita sudah banyak membantu mereka," ujar Trump.

Namun, kedua negara tersebut secara historis menolak gagasan pemindahan massal warga Palestina. Euro-Med Human Rights Monitor, sebuah organisasi hak asasi manusia berbasis di Jenewa yang berfokus pada pelanggaran di kawasan Timur Tengah dan Eropa, menegaskan bahwa pernyataan Trump merupakan "dukungan eksplisit terhadap kejahatan genosida Israel di Gaza".

Organisasi ini menyebut bahwa "Palestina sudah mengalami kehancuran total akibat agresi Israel selama lebih dari 15 bulan, dan tidak seharusnya mereka membayar harga lebih lanjut dengan dipaksa meninggalkan tanah mereka".

Menurut Euro-Med, "Israel telah melakukan genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023, termasuk dengan menghancurkan semua kebutuhan dasar untuk kehidupan di wilayah itu". Mereka menegaskan bahwa "pemindahan paksa warga Gaza akan menjadi pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa Keempat, yang melindungi hak mereka untuk tetap tinggal di tanah air mereka".

Euro-Med juga menuduh bahwa Trump "secara langsung mendukung kebijakan ekspansionis dan kolonial Israel yang secara sistematis berusaha menghapus keberadaan Palestina". Pernyataan Trump, menurut organisasi ini, "merupakan bagian dari rencana yang lebih besar untuk memperkuat kebijakan pemindahan paksa dan pengusiran sistematis yang telah berlangsung bertahun-tahun".
 

Kritik Lebih Lanjut

Dalam tulisan Euro-Med Human Rights Monitor, Rabu, 29 Januari 2025, disebutkan bahwa pengusiran paksa warga Gaza akan semakin memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah sangat kritis.

Sementara itu, dalam opini yang ditulis oleh Andrew Mitrovica, kolumnis Al-Jazeera, Selasa, 28 Januari 2025, ia menegaskan bahwa rencana Trump tidak dapat dianggap sebagai kebijakan biasa, melainkan bagian dari "upaya genosida yang sistematis terhadap rakyat Palestina".

Mitrovica menulis bahwa Trump tidak pernah menganggap warga Palestina sebagai manusia yang layak diperhatikan dan melihat Gaza sebagai "lahan kosong yang siap dibersihkan untuk kepentingan investasi besar-besaran". Ia juga menuduh bahwa Trump berupaya menciptakan keadaan di mana "Palestina tidak lagi ada sebagai sebuah bangsa".

"Saya khawatir akan terburu-burunya pihak-pihak yang ingin menyatakan 'pemenang' dan 'pecundang', padahal seharusnya jelas bahwa genosida hanya menghasilkan kehancuran, kematian, dan penderitaan," tulis Mitrovica

Mitrovica juga menyoroti pernyataan menantu Trump, Jared Kushner, yang menyebut bahwa Gaza adalah "properti tepi laut yang sangat berharga" dan berpendapat bahwa pemindahan penduduk bisa dilakukan ke Gurun Negev sebagai bagian dari "penyelesaian masalah".

Ia menegaskan bahwa rencana Trump adalah bentuk pembersihan etnis yang berbahaya dan mencerminkan pendekatan kejam terhadap masa depan Palestina.

Seorang pengungsi yang kembali ke Gaza, Radwan al-Ajoul, mengatakan kepada Al-Arabiya bahwa mereka "lebih memilih bertahan di tanah sendiri, meski dalam reruntuhan, daripada dipaksa pergi ke negara lain".
 

Situasi Gaza Pasca-Gencatan Senjata

Saat ini, lebih dari 2,3 juta warga Gaza masih menghadapi krisis kemanusiaan akibat perang berkepanjangan. Laporan menyebut bahwa lebih dari 370.000 warga Palestina telah mencoba kembali ke Gaza utara setelah gencatan senjata, meskipun kondisi wilayah tersebut sudah tidak layak huni.

Sementara itu, sejumlah pihak menilai relokasi ini sebagai solusi bagi keamanan Israel.

Dalam konteks hukum internasional, Handbook for the Protection of Internally Displaced Persons yang diterbitkan oleh PBB menyatakan bahwa "pemindahan paksa hanya dapat dibenarkan dalam kondisi sangat terbatas dan harus memenuhi standar keamanan serta martabat manusia."

Buku panduan ini juga menegaskan bahwa "pengusiran paksa berdasarkan kebijakan apartheid, pembersihan etnis, atau penghukuman kolektif adalah ilegal di bawah hukum internasional". Dengan demikian, rencana Trump dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan terhadap pengungsi internal sebagaimana diatur dalam pedoman PBB.

Baca Juga:
Ribuan Warga Palestina Kembali ke Gaza Tanpa Rumah

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Rodhi Aulia)