Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki.
Al Abrar • 10 March 2025 14:17
Jakarta: Perkembangan kecerdasan buatan (AI) dalam menghasilkan karya seni menimbulkan pertanyaan etis dan hukum. Apakah produk seni berbasis AI bisa disebut karya seni? Apakah AI sekadar alat atau dapat dianggap sebagai kreator? Bagaimana dengan hak cipta karya-karya yang dijadikan referensi oleh AI?
Isu ini menjadi perbincangan dalam diskusi bertajuk "Hak Cipta dan Filosofi AI" yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jumat, 7 Maret 2025. Diskusi diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bersama Jakarta Poetry Slam dan Kongsi 8 ini menghadirkan berbagai perspektif dari seniman, akademisi, hingga praktisi hukum.
Penulis dan dosen filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, menyoroti risiko pelanggaran hak cipta dalam produk AI generatif. Menurutnya, banyak laporan mengungkap bahwa AI dibangun di atas pencurian data.
"Ada sisi-sisi yang tidak dipertimbangkan. Dan itu kenapa sebesar apa pun saya sebagai peneliti menyukai kecerdasan buatan, kita memang harus tetap skeptis dan bersikap kritis pada kecerdasan buatan. Jangan langsung jatuh pada kekaguman dan ketakjuban, bahwa mesin ini bisa melakukan apa pun yang kita bayangkan, padahal mesin-mesin ini masih penuh dengan bias," kata Saras Dewi.
Namun, di tengah keresahan para seniman dan pekerja kreatif, seorang seniman di Bali mampu menggunakan AI sebagai alat untuk mengembangkan karyanya. Seniman itu adalah Jemana Murti. Dia melihat AI sebagai peluang dan memanfaatkannya untuk membuat karya.
“Jemana mampu menjadikan AI sebagai mitra,” ujar Saras.
Hanya saja, lanjut dia, keresahan yang dirasakan seniman dan pekerja seni itu nyata. Keresahan, AI akan menggantikan manusia.
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Riri Satria, juga menyinggung soal keresahan ini. Dia mengatakan, AI bisa menggantikan manusia ketika kualitas berpikir manusia rendah.
“Begitu juga sebaliknya. Dia menyarankan para seniman dan pekerja kreatif untuk tetap berkarya dan mengikuti tuntutan zaman (relevant). “Selain itu, jika punya kegelisahan, suarakanlah. Nanti dia akan menemukan gaungnya sendiri,” kata Riri.