(Opini) Mengapa Tiongkok Gigih Lawan Perang Tarif AS?

Perang dagang antara AS dan Tiongkok dipastikan berdampak signifikan pada perekonomian global. (Anadolu Agency)

(Opini) Mengapa Tiongkok Gigih Lawan Perang Tarif AS?

Harianty • 30 April 2025 14:14

Jakarta: Ketegangan terkait perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) kian memanas sejak Donald Trump mulai menjabat pada Januari 2025. Di tahap awal, Trump memberlakukan tarif sebesar 10% terhadap produk Tiongkok dengan alasan berkaitan dengan isu fentanil. Sebagai tanggapan, Tiongkok langsung mengenakan tarif balasan terhadap barang-barang asal AS, dan aksi saling membalas tarif pun tak terhindarkan.

Pada Februari, kebijakan tarif sebesar 10% kembali dikenakan oleh Trump terhadap produk Tiongkok, masih dalam konteks masalah fentanil. Menyusul kebijakan itu, Tiongkok segera membalas dengan tarif terhadap produk energi asal AS.

Kemudian, pada 4 Maret, AS meningkatkan tarif menjadi 20%. Tiongkok membalas dengan tambahan tarif sebesar 10%–15% terhadap barang-barang pertanian AS, termasuk tarif 10% untuk komoditas kacang kedelai.

Tanggal 2 April, AS menerapkan tarif “timbal balik” terhadap lebih dari 180 negara, termasuk tarif sebesar 34% atas barang-barang dari Tiongkok. Dua hari berselang, pada 4 April, Tiongkok membalas dengan tarif serupa sebesar 34% terhadap barang-barang asal AS.

Pada 9 April, AS memutuskan untuk menangguhkan tarif timbal balik selama 90 hari bagi sejumlah negara, tetapi tetap mempertahankan tarif tinggi terhadap produk Tiongkok—bahkan meningkatkannya hingga 125%. Pada hari yang sama, Tiongkok mengumumkan bahwa tarif terhadap barang-barang AS akan naik menjadi 84%. Tiga hari kemudian, pada 12 April, Tiongkok kembali meningkatkan tarif tersebut menjadi 125%.

Lantas, mengapa Tiongkok bersikap begitu tegas dalam merespons kebijakan tarif AS, sementara negara-negara lain lebih memilih jalan negosiasi untuk menghindari tekanan tarif dari Washington?

Mayoritas negara lain terlihat mengambil sikap menunggu dan melihat, dan bahkan mereka yang tidak sepakat dengan kebijakan tarif AS belum mengambil langkah konkret. Berbeda dengan itu, Tiongkok justru langsung mengambil langkah tegas—tanpa berusaha melakukan pendekatan atau komunikasi diplomatik lebih dulu—dengan langsung menerapkan tarif balasan.

Tindakan ini mencerminkan sikap yang sangat jelas: “permainan baru saja dimulai.” Meski perang tarif pada dasarnya merugikan semua pihak, Tiongkok menganggap tidak ada pilihan selain “menghunus pedang.”

Ritme Trump

Sejak akhir tahun lalu, Beijing sudah mulai mempersiapkan strategi untuk menghadapi potensi dampak ekonomi dari tarif Trump, dengan memprioritaskan peningkatan permintaan domestik. Pemerintah Tiongkok memilih pendekatan ekspansi fiskal, bertolak belakang dengan kebijakan fiskal kontraktif yang diterapkan di AS.

Realitanya, andalan utama Trump—yakni konsumen domestik yang kuat—tidak cukup menjadi daya tekan. Ini bisa jadi alasan mengapa Tiongkok merasa percaya diri untuk melawan, dan bahwa Trump telah memainkan kartunya dalam urutan yang keliru.

Media asal Singapura melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan reaksi-reaksi Tiongkok pada perang dagang 2018, serangan balik kali ini adalah yang paling cepat dan paling agresif. Tiongkok jelas sudah bersiap dan memilih untuk bertempur habis-habisan di ranah ekonomi dan perdagangan, ketimbang tunduk pada tekanan AS.

Melihat gaya negosiasi Trump, kebijakan tarif terhadap Tiongkok dan negara-negara lain tampaknya memang bertujuan untuk “menaikkan harga awal”. Biasanya, langkah selanjutnya adalah menunggu respons dari pihak lawan.

Tapi kali ini, Tiongkok yang justru mengambil inisiatif dalam memperkeras respons, menunjukkan ketegasan dan minim niat untuk bernegosiasi dalam ritme Trump.

Namun, sikap keras ini bukan berarti Tiongkok sepenuhnya menutup pintu perundingan. Justru, reaksi tegas tersebut diyakini bisa memperkuat posisi tawar mereka dalam negosiasi berikutnya.

'Pintu Kami Terbuka'

Dalam sebuah wawancara di Beijing, Zhang Bin—Wakil Direktur Institut Ekonomi dan Politik Dunia dari Akademi Ilmu Sosial Tiongkok—menyatakan bahwa peningkatan permintaan domestik merupakan cara efektif untuk mengimbangi tekanan tarif dari AS, sekaligus melindungi sektor bisnis dan tenaga kerja yang terdampak.

Zhang juga menyebutkan bahwa meskipun perang tarif tidak memberikan kemenangan bagi siapa pun, Tiongkok memiliki berbagai instrumen untuk mengelola situasi sulit ini. Berbekal pengalaman bertahun-tahun dan hasil pengembangan strategi ekonomi, Tiongkok mampu meminimalisir efek negatif dari konflik dagang.

Baru-baru ini, Trump sendiri mengakui bahwa tarif 145% yang dikenakan terhadap Tiongkok terlalu tinggi dan kemungkinan tidak akan berlangsung lama. Meski begitu, ia menegaskan bahwa tarif terhadap Tiongkok di masa depan tetap tidak akan nol. Pernyataan ini menimbulkan spekulasi luas tentang kemungkinan mulai goyahnya posisi AS dalam konflik tarif ini—sebuah hasil dari konsistensi Tiongkok?

Tiongkok tetap pada pendiriannya: “Tidak ada pemenang dalam perang tarif dan perang dagang. Proteksionisme tidak memberikan jalan keluar, dan upaya memisahkan atau memutus rantai pasok global hanya akan membuat negara pelakunya terisolasi. Kami tidak menginginkan perang tarif, tapi juga tidak gentar. Jika kau ingin bertarung, kami akan melawan; jika ingin berdialog, pintu kami terbuka.”

Terlepas dari bagaimana konflik ini berakhir, penerapan tarif sepihak oleh AS terhadap berbagai mitra dagangnya dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak dan kepentingan sah negara-negara lain. Selain itu, kebijakan tersebut melemahkan sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan, mengganggu stabilitas ekonomi global, dan pada akhirnya juga akan merugikan AS sendiri.

Baca juga: Trump Klaim Tarif Impor Bisa Gantikan Pajak Penghasilan Warga Berpendapatan Menengah

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)