Politikus PDIP Masinton Pasaribu mengatakan, Istana Negara dijadikan ajang pertemuan ketua umum (Ketum) partai politik (Parpol) sudah biasa.
4 May 2023 10:23
Politikus PDIP Masinton Pasaribu mengatakan, Istana Negara dijadikan ajang pertemuan ketua umum (Ketum) partai politik (Parpol) sudah biasa.
Ia menyebut, pada era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) aktivitas serupa diklaim terjadi.
"Dari jaman era dulu sudah ada di istana. Pak SBY juga melakukan hal yang sama, menurut saya persoalan tempat enggak ada yang masalah," kata Masinton, Rabu (3/5/2023).
Masinton menilai, hal yang salah bila istana dijadikan kantor salah satu partai politik (parpol). Momen-momen kebersamaan dengan para ketum parpol di di istana pada Selasa (2/5/2023) kemarin malam tidak perlu diperdebatkan.
Selain itu, Masinton juga membantah Presiden Joko Widodo (Jokowi) cawe-cawe karena menggelar pertemuan Ketum Parpol tersebut. Ia juga menepis anggapan Kepala Negara ingin menyelamatkan figur tertentu pada kontestasi politik 2024.
"Tidak ada yang ingin ditakutkan dan yang ingin diselamatkan Pak Jokowi adalah kesinambungan pembangunan yang sudah dirintis oleh beliau dan menyiapkan kepemimpinan yang berkesinambungan untuk kita menuju Indonesia Emas 2045. Menurut saya menjadi seorang pemimpin itu dia harus bisa menyiapkan kesinambungan dari program kepemimpinan di masanya," jelas Masinton.
Pada forum yang sama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Melki Sedek menilai, Presiden Jokowi idealnya cukup mengawal pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 berlangsung jujur dan adil. Kepala Negara dinilai tak perlu memperlihatkan gimmick politik.
"Bagaimana Presiden mampu memposisikan diri dan tidak mengorbankan perihal independensinya. Jadi yang ideal adalah Pak Jokowi jika ingin soft landing, ya kelar kan lah kepemimpinan beliau dengan betul-betul mengawal Pemilu 2024 agar bisa jujur adil dan demokratis gitu loh," kata Melki.
Melki mengatakan, Indonesia menganut negara demokrasi bukan feodal. Pemimpin dipilih sesuai dengan suara rakyat.
"Kita tidak memilih pemimpin berdasarkan saran pemimpin sebelumnya, apalagi dengan gimmick-gimmick yang menghadirkan kepada publik stigma bahwa ini adalah penerus Presiden sebelumnya gitu, misalnya," ujar Melki.
Melki menuturkan, manuver-manuver politik itu seolah memberikan penilaian ke masyarakat. Ia mencontohkan kondisi tersebut seperti politik simulakra.
Ia juga mengatakan, ketika persepsi dan gimmick itu secara terang-terangan, tidak malu, dan bangga bahkan dipertontonkan kepada publik, maka akan menghadirkan stigma.
"Stigma bahwa penerus sedang dipersiapkan dan jika puas dengan kepemimpinan sebelumnya silakan memilih yang sudah dipersiapkan dan itu yang harus dilawan," kata Melki.