Bekasi: Delapan orang tokoh dihukum gantung di Alun-alun Bekasi, Kota Bekasi, Jawa Barat pada masa kolinial tahun 1870. Mereka mendapatkan hukuman setelah melakukan perlawanan kepada tuan tanah atau yang kala itu disebut sebagai Landheer.
Perlawanan itu dilakukan karena eksploitasi yang dilakukan tuan tanah kepada para pekerja. Selain itu, anak dari tuan tanah di Tambun pun kerap menyita hewan ternak dan memerkosa para gadis di wilayah setempat.
Hal tersebut yang melatarbelakangi pemberontakan maut yang menewaskan sejumlah orang kala itu. Selain itu juga terdapat dua pejabat yaitu Asisten Residen Meester Cornelis (setara Bupati), CE Kuijper dan Kepala Kepolisian wilayah Bekasi pada pemerintahan Hindia Belanda, F Mayer.
Bagaimana pergerakan massa rakyat kala itu hingga melakukan pemberontakan? Apa yang melatarbelakanginya? Mari kita simak ulasannya!
Delapan Jagal Tambun Dihukum Gantung
Sejarawan Bekasi, Ali Anwar, bercerita tentang peristiwa tersebut. Kepada Medcom.id, dia menjelaskan latar belakang munculnya aksi massa pada tahun 1869 di rumah seorang landheer di Tambun bernama Ba Bairah itu.
Bagaimana kondisi Bekasi pada tahun tersebut?
Jadi itu peristiwa Tambun, pemberontakan Tambun tahun 1869. Awalnya, waktu itu, pada tahun 1800 awal, kan di Batavia ini termasuk Bekasi itu kan Pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah Jabodetabek ini lah, wilayah Batavia, sebagai daerah penanaman modal, berarti kan terbuka investasi untuk siapa saja.
Nah, investornya itu kan dikenal dengan Tuan Tanah atau bahasa Belandanya Landheer, itu kalau saya lihat dari persebarannya di Jabodetabek, di Batavia, itu tuan-tuan tanah China itu umumnya di daerah Bekasi dan Tangerang, tuan tanah Eropa itu umumnya ada di Bogor. Sedangkan kalau yang di Batavia-ya beragam lah, ada Arab, China, Eropa dan lain-lain.
Jadi dengan Bekasi dijadikan daerah investasi, tanah-tanah di Bekasi itu dikuasai oleh tuan tanah Cina, sebagian besar ya.
Persoalannya adalah, mereka ini lebih cenderung lebih besar mengeksploitasi penduduknya ketimbang mensejahterakan.
Apa yang melatarbelakangi pemberontakan?
Saat itu juga kan sudah mulai dibangun perkebunan-perkebunan skala besar, seperti ada perkebunan Tebu yang lokasinya di tepi-tepi Kali yang ada di Bekasi, di Kali Cikarang, Kali Citarum dan kali-kali yang lain. Terus ada juga perkebunan karet di Pondok Gede, perkebunan kelapa dan persawahan.
Nah ini mereka (Tuan Tanah) melakukan eksploitasi. Terus ditambah juga karena Bekasi dijadikan daerah industri, Tuan Tanah itu membutuhkan tenaga kerja, terutama untuk perkebunan tebu, itu diambil dari sekitar Cirebon, Kuningan, Indramayu, terus ada juga dari Banten dan ada juga dari Jawa.
Jadi waktu itu perkebunan Tebu itu di sebelah timur dan barat Kali Bekasi. Itu sebabnya kalau kita lihat temuan-temuan sekarang itu ada yang disebut dengan suikermolen, batu atau alat untuk memeras Tebu menjadi gula, nah di sebelah timur Kali Bekasi itu sampai Gabus itu satu Tuan Tanah, itu sebelah timur, di sebelah Barat juga ada Tuan Tanah. Terus di Tambun juga begitu. Ini kan gerakan protesnya di Tambun
Bagaimana pemberontakan dilakukan?
Ya waktu itu untuk bisa melakukan pemberontakan, itu berbagai macam cara dilakukan oleh tokoh-tokohnya itu untuk menghimpun massa sampai akhirnya mereka melakukan inisiatif untuk melakukan pemberontakan.
Maksudnya, mereka membuat isu, kan pemimpinnya itu Pak Rama, itu menggunakan cara-cara nativistik, kepribumian.
Mereka bilang bahwa tanah-tanah yang dikuasai oleh tuan tanah itu dulunya itu merupakan tanah-tanah nenek moyang mereka. Terus tokoh-tokohnya untuk mengelabui massa itu menggunakan gelar-gelar, ada gelar sultan, gelar-gelar yang seperti itu, terus mereka ada yang menggunakan sorban, sehingga masyarakat menjadi percaya.
Pemberontakan itu sebenarnya dimulainya di Depok, dari Depok mereka jalan kaki ke Tambun, dari Depok itu di Ratu Jaya yang saat ini Citayam jalan kaki sampai ke Bekasi, tentu melewati jalan-jalan kampung yang sudah ada. Itu pada tanggal 4 April 1869.
Apakah Pemerintah Hindia-Belanda sudah tahu soal pemberontakan itu, bagaimana responsnya?
Isu tentang rencana pengerahan masa itu sudah didengar oleh Tuan Tanah, Tuan Tanah melaporkan kepada Asisten Residen Meester Cornelis, saat ini Jatinegara, namanya CE Kuijper terus mereka juga lapor kepada kepala kepolisian Bekasi namanya F Mayer.
Karena aparat keamanan dan Asisten Residen itu menganggapnya ini persoalan kecil, sehingga mereka ke Bekasi itu dengan pasukan yang nggak begitu banyak
Senjata yang mereka bawa juga cuma senjata-senjata yang sekadar buat nembak biasa, bukan menggunakan senjata yang lebih modern.
Begitu mereka sudah sampai di rumah Tuan Tanah Tambun, datanglah sekitar 200 sampai 300 masa dari arah Cimuning.
Mereka bergerak seperti pasukan rakyat biasa tetapi mereka menggunakan alat musik tambur, seperti pawai, model drumband, itu untuk memberi semangat kepada masa dalam bergerak, termasuk di situ mereka ada yang memakai kelewang, tombak, lembing, sambil meneriakan yel-yel, "Bunuh", "Takbir".
Bagaimana penyerangan berlangsung?
Jadi ceritanya mereka ini melakukan penyerbuan, di situ tuan tanah sama polisi dan Mayer itu sudah menyiapkan meriam, menyiapkan juga senjata-senjata api, begitu mereka datang langsung ditembak, termasuk juga meriam, tapi itu keburu ringsek oleh para pemberontak
Terjadi perkelahian yang tidak seimbang, sampai akhirnya ada polisi yang terbunuh, ada pemberontak juga yang terbunuh terus Asisten Residen Meester Cornelis itu mati terbunuh, terus kepala kepolisian Bekasi mati terbunuh juga. Ada beberapa sudut dibakar, beberapa lagi melarikan diri, seorang dokter juga terbunuh,
Setelah itu para pemberontak melarikan diri masing-masing, ada yang kembali ke Depok, ada yang ke Bantargebang, ada yang ke Kali Abang.
Berapa orang yang ditangkap dan bagaimana hukumannya?
Jadi pada saat mereka melarikan diri ke Kali Abang, itu dihadang oleh pasukan tentara yang dikirim dari Batavia, dari Meester Cornelis.
Terjadi negosiasi, beberapa orang ditangkap, beberapa orang juga diburu. Ada belasan orang lah (ditangkap) para tokoh-tokohnya, terus mereka di sidang. Pengadilan waktu itu ada di Meester Cornelis, waktu itu belum ada Pengadilan dan Telekomunikasi di Bekasi.
Jadi, para pelaku utamanya itu dihukum gantung, ada beberapa orang dihukum gantung, dan ada juga yang meninggal di tahanan, delapan orang itu dihukum gantung di Alun-Alun Gantung satu tahun kemudian tahun 1870
Apa peristiwa hukuman gantung tersebut dipertontonkan di depan warga?
Iya, jadi di situ mereka dibuatkan tiang lalu ada talinya, kemudian mereka disuruh berdiri menggunakan semacam bangku, lalu bangkunya ditendang, kemudian mereka tergantung.
Memang zaman dulu hukuman ya begitu, di Batavia , yang sekarang Museum Fatahilah itu kan itu kan dulu beberapa kali terjadi hukuman gantung, tapi nggak masal.
Asisten residen itu posisinya setara bupati, kalau di Bekasi itu namanya distrik, selevel dengan Kewedanaan, nah kalau di atas itu namanya Asisten Residen, dia seperti Bupati. Bayangkan Bupati dibunuh oleh rakyatnya, belum ada dalam sejarah Bekasi, kepala kepolisian juga.
Bagaimana nasib pemilik tanah yang mengeksploitasi para pekerja?
Dia melarikan diri, namanya Ba Bairah, dia sempat melarikan diri. Yang tewas anaknya seorang lelaki. Ini ada persoalan lagi, bahwa kekesalan penduduk itu di antaranya karena Ba Bairah ini itu dia suka merampas tanah rakyat.
Terus anaknya suka mengambil atau menyita sapi-sapi penduduk dan kerbau, itu dia sampai punya peternakan atau kandang kerbau, banyak sapi-sapinya. Dan anaknya itu suka memperkosa perempuan, jadi tingkat kekecewaan rakyat itu terakumulasi dari persoalan personal, persoalan yang lebih luas lagi sampai pertanahan