Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah. Foto: Istimewa.
Anggi Tondi Martaon • 13 November 2025 13:03
Jakarta: Proyek strategis pengumpulan data geospasial dan peta dasar seluruh wilayah Indonesia di Badan Informasi Geospasial (BIG) disorot. Sebab, peserta tender didominasi perusahaan asal Tiongkok.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai keterlibatan perusahaan Tiongkok sangat berisiko tinggi terjadi kebocoran informasi penting. Hal itu bisa mengancam kedaulatan peta data, kedaulatan teritorial, sumber daya alam dan manusia.
“Sebenarnya aturannya nggak boleh, tapi mungkin ada peraturan baru yang membolehkan. Masuknya perusahaan-perusahaan Tiongkok dalam tender ini bisa menimbulkan risiko besar jika data geospasial Indonesia jatuh ke tangan asing," papar Trubus melalui keterangan tertulis, Kamis, 13 November 2025.
Seperti diketahui, proyek strategis nasional itu berupa penyediaan data dasar geospasial dan peta dasar wilayah seluruh Indonesia. Pembiayaan proyek tersebut berasal dari soft loan dari Bank Dunia mencapai sekitar USD238 juta
Proyek ini terbagi menjadi dua bagian besar. Yaitu: pengumpulan data spasial wilayah urban dan non-urban yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Dalam proyek tersebut, terdapat delapan perusahaan yang dinyatakan lolos kualifikasi.
Namun, sebagian besar di antaranya merupakan perusahaan asing asal Tiongkok. Baik yang berdiri sendiri maupun tergabung dalam konsorsium.
Kondisi ini, menurut Trubus, patut menjadi perhatian serius. Sebab, menyangkut aspek keamanan dan kedaulatan negara.
“Yang dikhawatirkan itu kalau geospasial itu oleh pemenang tendernya antara orang Tiongkok. Seluruh sumber daya alam kekayaan kita bisa terekam oleh Tiongkok semuanya nanti,” ungkap Trubus.
Trubus menyarankan agar pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut. Dia menegaskan data geospasial tidak sekadar peta wilayah, melainkan informasi strategis yang dapat mengungkap kekayaan sumber daya alam Indonesia secara detail.
Ia menilai keterlibatan Tiongkok yang terlalu dominan dapat membuka peluang terjadinya monopoli dan kebocoran data yang berpotensi mengancam kedaulatan nasional. “Artinya ke depan itu seluruh wilayah Indonesia sumber daya alam kekayaannya, sumber daya manusia, bisa di-mapping oleh Tiongkok dan diketahui oleh Tiongkok, itu yang jadi bahaya di situ,” sebut Trubus.
Trubus memahami bahwa salah satu alasan keterlibatan perusahaan Tiongkok mungkin karena efisiensi dan keunggulan teknologi yang mereka miliki. Namun, ia mengingatkan bahwa efisiensi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan keamanan nasional.
“Kalau semua perusahaan Tiongkok dibolehkan semuanya, nanti ujung-ujungnya monopoli di situ. Dan dia mengetahui semua sumber daya alam yang dimiliki Indonesia,” ujar Trubus.
Menurut Trubus, publik berhak mengetahui aturan main, urgensi, serta manfaat yang sebenarnya dari proyek geospasial tersebut.
“Tender-tender seperti ini harusnya dibuka aja ke publik semuanya. Jadi bagaimana kemudian aturan mainnya dan bagaimana kemudian juga urgensinya. Jangan sampai nanti ujung-ujungnya mengancam kedaulatan,” ujar Trubus.
Ia juga mendorong agar pemerintah meninjau ulang proses tender proyek BIG ini. Menurutnya, karena proyek masih dalam tahap tender, masih ada ruang untuk melakukan evaluasi ulang.
“Ini kan baru tender ya, bisa aja ditinjau ulang. Karena ini kan kelanjutan dari era-era sebelumnya yang lebih cenderung ke Cina,” kata Trubus.
Ilustrasi Satu Peta. Foto: Dok. Satupeta.
Tiongkok Tidak Sekadar Bisnis
Lebih lanjut, Trubus menilai Tiongkok tidak sekadar menjalankan bisnis, melainkan memiliki visi jangka panjang untuk menguasai teknologi dan sumber daya alam global. Ia menambahkan, banyak negara telah melihat kemampuan Tiongkok dalam mengembangkan teknologi militer dan industri yang kini bahkan mampu menyaingi Barat.
“Tiongkok kan nggak sekadar bisnis. Dia memikirkan masa depannya,” kata Trubus.
Dengan kemampuan tersebut, Tiongkok tentu memerlukan pasokan sumber daya alam dalam jumlah besar. Indonesia, yang kaya akan sumber daya seperti nikel, batu bara, dan minyak, menjadi sasaran strategis.
“Ini kesempatan orang Indonesia kan mudah sekali, pejabat-pejabatnya ini birokrasinya kan birokrasi korup, mudah sekali disuap,” ungkap Trubus.
Ia juga menilai BIG hanya berfokus pada pelaksanaan teknis tanpa mempertimbangkan dampak strategis jangka panjang terhadap kepentingan nasional.
“Yang dibenak mereka itu cuma melaksanakan pemetaan geospasial saja yang segera dilakukan. Yang diberikan cuma untungnya jangka pendek, jadi enggak mementingkan bahwa jangka panjangnya akan merusak seluruh kedaulatan negara,” sebut Trubus.
Trubus menyarankan agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam melanjutkan proyek ini. Pemerintah diminta mempertimbangkan dengan matang seluruh aspek dampak jangka panjangnya.
“Saran saya, proyek ini perlu dimapping ulang atau dikaji ulang, juga mempertimbangkan jangka panjangnya. Jadi aspek-aspek dampak dari jangka panjang itu yang penting,” kata Trubus.