CEO CMI Dr. Janne Taalas dalam seminar Martti Ahtisaari Legacy yang digelar di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025. (Metrotvnews.com)
Willy Haryono • 1 July 2025 07:31
Jakarta: CEO Crisis Management Initiative (CMI), Dr. Janne Taalas, menegaskan bahwa mediasi damai merupakan keterampilan yang menuntut empati dan kerja sama, bukan sekadar teknik negosiasi. Hal ini ia sampaikan dalam seminar Martti Ahtisaari Legacy yang digelar di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025.
Taalas menyoroti tantangan baru dalam diplomasi global, di tengah menyusutnya ruang dialog dan krisis multilateralisme.
“Saat ini, aktor-aktor multilateral berada dalam tekanan. Kita butuh aktor regional dan multilateral yang bisa memberikan akuntabilitas dan kepastian,” ujar Taalas.
Ia juga mengapresiasi kontribusi ASEAN dan Uni Eropa dalam pemantauan perjanjian damai di Aceh yang tercapai pada 2005, menyebut bahwa aktor regional kerap lebih memahami konteks lokal, memiliki legitimasi kuat, dan mampu bergerak lebih adaptif.
“Asia Tenggara punya tradisi panjang dalam mediasi damai dan bisa menjadi contoh bagi dunia,” Taalas.
Dalam sesi yang sama, pendiri dan ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dr. Dino Patti Djalal, mengkritik meningkatnya sikap egoistik negara-negara besar yang justru memperburuk tatanan dunia.
“Semakin banyak negara yang mengedepankan kebijakan ‘aku duluan’. Padahal, itu bukan cara menyelesaikan persoalan global,” kata Dino. Ia menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam proses perdamaian.
Dino juga mengenang keterlibatannya dalam proses damai Aceh bersama Malik Mahmud, sebagai momen yang menggambarkan pentingnya rasa kemanusiaan bersama.
“Proses perdamaian itu mengingatkan kita pada kemanusiaan yang menyatukan,” pungkas dia. (Muhammad Reyhansyah)
Baca juga: KPA: Jangan Ada Lagi yang Mempermainkan Batas Wilayah Aceh