Pembatasan Interaksi Jaksa dan Penyidik pada RKUHAP Dikritisi

Seminar Critical Review RKUHAP di Gedung Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jumat, 16 Mei 2025. Foto: Dok istimewa

Pembatasan Interaksi Jaksa dan Penyidik pada RKUHAP Dikritisi

Wandi Yusuf • 17 May 2025 06:47

Jakarta: Sejumlah akademisi mengkritisi klausa yang mengatur interaksi antara jaksa dan penyidik pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Tertera, interaksi antara jaksa dan penyidik yang hanya berjumlah satu kali berpotensi mencederai keadilan. 

"Tanpa kontrol yudisial dan kepastian perlindungan terhadap warga negara, hukum acara pidana hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang berpotensi represif dan mencederai keadilan,” kata pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Nurini Aprilianda, dalam seminar bertajuk Critical Review atas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2025" di Gedung Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jumat, 16 Mei 2025. 

Nurini, yang merupakan ketua tim penyusun DIM RUU KUHAP dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini, menilai semestinya kejaksaan telah dilibatkan sejak awal proses penyidikan. Langkah tersebut dipercaya dapat memastikan proses penyidikan tidak sia-sia. Namun, Pasal 24 hingga Pasal 26 RUU KUHAP justru membatasi interaksi antara jaksa dan penyidik.

"Usulan kami itu menegaskan kembali peran jaksa sejak awal. Jadi, jaksa harus diberikan satu posisi resmi dan aktif dari tahap penyidikan. Untuk apa? Ya, untuk bisa melakukan monitoring legalitas dari upaya paksa. Kemudian menilai kecukupan bukti lebih dini," kata Nurini.

Nurini berpendapat keterlibatan kejaksaan dalam penyidikan juga mendorong efisiensi dan keadilan penanganan perkara yang terarah serta membangun mekanisme check and balances. Hubungan antara jaksa dan penyidik, kata dia, harus bersifat saling kontrol, bukan dominasi secara sepihak.

“Jadi mekanisme ini bisa berbentuk koordinasi. Dan wajibnya di antara penyidik dengan jaksa. Dan kemudian kewenangan jaksa menghentikan penyidikan apabila ditemukan misalnya ada pelanggaran hukum di dalamnya. Kemudian ada penyusunan standar operasional prosedur bersama antara kepolisian dengan kejaksaan. Nah, tanpa penguatan prinsip dominus litis ini, ya kita memosisikan atau memberikan peran terhadap jaksa sejak awal," kata dia. 
 

Baca: 

Revisi KUHAP Diminta Mengutamakan Perlindungan HAM


Nurini menilai, tanpa adanya revisi draf RUU KUHAP maka proses hukum menjadi rentan terhadap penyalahgunaan wewenang, ketidakpastian hukum, dan minimnya akuntabilitas dalam penyidikan untuk menciptakan peradilan pidana yang terbuka, berimbang, dan akuntabel.

"Dan (pembatasan) ini tidak mencerminkan kerja sama yang berkelanjutan. Seharusnya bergantung pada kompleksitas dari pembuktian perkara. Dalam praktek ideal, jaksa harus aktif sejak awal penyidikan. Jadi, jaksa memainkan peran sebagai dominus litis tadi agar bisa memberikan masukan, menjamin kelengkapan alat bukti, kemudian mencegah penyidikan yang tidak sah atau tidak perlu,” kata Nurini. 
 

Masih minim perhatian

RUU KUHAP masih minim perhatian terkait penguatan pengawasan penyidikan. Dalam draf yang ada, pengawasan terhadap penyidikan hanya dilakukan oleh atasan penyidik.

Menurut Nurini, model pengawasan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. Tidak ada mekanisme eksternal atau independen yang dapat menilai apakah penyidikan itu dilakukan secara adil, sah, dan proporsional. 

"Idealnya mestinya pengawasan penyidikan ini harus melibatkan lembaga judicial atau otoritas independensi agar proses berjalan dengan objektif," kata dia.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson berpendapat pembatasan interaksi antara penyidik dan jaksa hanya satu kali dalam setiap perkara adalah kebijakan yang keliru dan tidak realistis. Dalam praktiknya, penuntut umum memiliki fungsi strategis yang seharusnya terlibat sejak awal proses penyidikan untuk menjamin bahwa setiap perkara berjalan sah, adil, dan proporsional. 

"Tanpa mekanisme kontrol eksternal yang melibatkan kejaksaan atau pengadilan, upaya memastikan akuntabilitas dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka menjadi ilusi," kata dia.

Febby menambahkan istilah "penyidik utama" dalam Pasal 7 RKUHAP juga tidak memiliki dasar dalam doktrin hukum acara pidana. Febby mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah beberapa kali menolak pendekatan eksklusivitas kewenangan penyidikan. MK juga menggarisbawahi sistem peradilan pidana harus menjamin keseimbangan fungsi antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penyidikan lainnya, terutama dalam konteks checks and balances.

Febby mengusulkan RKUHAP memuat kewajiban koordinasi fungsional yang jelas antara penyidik dan penuntut umum. Menurut dia, hal ini tidak dapat diartikan sebagai intervensi independensi lembaga, melainkan langkah menciptakan struktur kerja yang akuntabel dan efisien.

Dalam kerangka ini, jaksa harus memiliki kewenangan untuk memberikan petunjuk penyidikan yang mengikat, serta memiliki akses penuh terhadap hasil penyelidikan dan alat bukti sejak dini. 
 

Penerapan penyidik utama dikritisi

Selain pembatasan interaksi jaksa dan penyidik yang hanya berlangsung saat pelimpahan tersangka, sejumlah hal krusial lain turut menjadi catatan dalam kegiatan ini.

Ahli hukum dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, mengkritik penerapan konsep “penyidik utama” seperti yang tertuang pada Pasal 7 RKUHAP. Selain tidak dikenal dalam sistem hukum acara pidana Indonesia, konsep ini juga berpotensi menempatkan penyidik pada posisi yang menyerupai hakim.

"Dalam banyak ketentuan, penyidik diberi kewenangan untuk memanggil, menetapkan status, bahkan menilai keberatan atas penahanan. Ini menciptakan situasi di mana penyidik bukan hanya pelaksana penyelidikan, tetapi juga penafsir tunggal atas prosedur dan kebenaran. Itu sangat berbahaya dalam kerangka due process," kata dia.

Fachrizal menambahkan kewenangan luas ini membuat penyidik dapat bertindak sebagai eksekutor, evaluator, bahkan quasi-judicial authority, yang seharusnya menjadi kewenangan lembaga peradilan. Fachrizal menjelaskan  RKUHAP 2025 secara konseptual gagal menjawab kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang modern. 

Salah satu temuan dalam DIM adalah RKUHAP tidak menyediakan mekanisme pelaksanaan terhadap jenis-jenis pidana baru seperti pidana pengawasan, kerja sosial, dan pidana bersyarat yang telah diatur dalam KUHP. 

Selain itu, ketentuan penahanan tanpa persetujuan hakim, seperti yang diatur dalam pasal 87 dan pasal 92-94 RKUHAP 2025, dinilai merupakan kemunduran dari prinsip judicial scrutiny. Hal ini juga bertentangan secara frontal dengan amanat Pasal 9 ayat (3) Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005.

"Tanpa izin hakim, penahanan tidak lebih dari bentuk pemidanaan dini (pretrial punishment) yang merampas hak kebebasan seseorang tanpa kontrol objektif dari lembaga peradilan," kata dia.
 

Pentingnya posisi penasihat hukum

Sekretaris Jenderal DPN Peradi, Imam Hidayat, menekankan pentingnya posisi penasihat hukum dalam sistem acara pidana. Menurut dia, peran advokat bukan sekadar mendampingi, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak tersangka dan saksi. 

"Setiap keberatan dari advokat wajib dicatat secara resmi dalam berita acara pemeriksaan. Ini bukan hal teknis semata, tapi bagian dari akuntabilitas proses hukum,” ujar Imam. 

Ia juga mendorong agar RKUHAP mencantumkan jaminan terhadap imunitas profesi advokat dalam praktik pembelaan.
 

Kemunduran aturan

Peneliti ICJR, Iftitahsari, menyoroti bahwa RKUHAP 2025 mencerminkan kemunduran atau regresi dari berbagai rancangan sebelumnya. Upaya pembaruan yang telah muncul dalam draf-draf terdahulu, seperti keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, kini dihapus tanpa alasan yang dapat diterima secara akademik. 

Selain itu, pasal-pasal terkait penyidikan dan penahanan masih memberikan ruang terlalu besar bagi diskresi penyidik tanpa kontrol eksternal. 

Dia menekankan bahwa korban tindak pidana belum diposisikan sebagai subjek hukum acara secara utuh, dan banyak hak mereka, termasuk hak atas informasi, restitusi, dan partisipasi, tidak terjamin secara prosedural.

Dalam forum ini juga disampaikan sejumlah rekomendasi. Di antaranya adalah perlunya mewajibkan seluruh tindakan upaya paksa mendapat persetujuan hakim, perlunya memperkuat peran penuntut umum dalam mengawasi penyidikan, pengakuan terhadap hak dan posisi korban, serta penyesuaian prosedur acara pidana dengan bentuk-bentuk pemidanaan baru. 

Rancangan KUHAP juga didesak untuk mengatur mekanisme praperadilan yang efektif sebagai kontrol terhadap tindakan sewenang-wenang serta mendukung sistem peradilan berbasis digital, transparan, dan akuntabel.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Wandi Yusuf)