Hakim Diharap Putuskan Perkara Alih Muat Batu Bara Seadil-adilnya

Ilustrasi. Medcom.id

Hakim Diharap Putuskan Perkara Alih Muat Batu Bara Seadil-adilnya

Candra Yuri Nuralam • 4 November 2024 17:13

Jakarta: Perkara perjanjian alih muat batu bara antara PT IMC dan PT SLE terus bergulir. Proses persidangan segera memasuki babak akhir. Hakim diminta memutus perkara tersebut dengan seadil-adilnya.

"Dalam memutuskan perkara ini agar sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan," kata kuasa hukum terdakwa Sabri Noor Herman, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, 4 November 2024.

Menurut Sabri, Hakim Pengadilan Negeri Batulicin mesti memutuskan perkara sesuai fakta. Jika tidak, pihaknya bakal mengambil langkah hukum untuk mencari keadilan, salah satunya dengan mengadu ke Komisi Yudisial.

“Kami akan melakukan upaya hukum, baik ke KY maupun Badan Pengawasan Mahkamah Agung yang melindungi pencari keadilan,” tegas Sabri.

Lebih lanjut, dia membeberkan kontrak bisnis antara 2 perusahaan itu, yang dimulai pada 1 September 2022 di Kalimantan Timur. SLE dinakhodai Tan Paulin, yakni pihak yang diduga terkait dengan perkara gratisikasi mantan Bupati Kukar Rita Widyasari.

Menurut Sabri, pelaksanaan kontrak bisnis tersebut malah menjadi dakwaan pidana. Tindakan yang dikategorikan melawan hukum itu menjerat dua mantan direksi, dan seorang mantan manajer IMC dengan pasal 404 ayat 1 KUHP.

Dalam perkara ini, tiga terdakwa yakni T, II, dan HT didakwakan bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Kalsel dan Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu. Yakni, melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 404 Ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

JPU menuntut ketiganya dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun. Tak hanya itu, JPU juga menuntut agar Kapal FC Ben Glory yang telah disita oleh pengadilan turut dirampas oleh negara dan diberikan sebagai ganti rugi kepada korbannya, PT SLE. Perihal dakwaan dan tuntutan pidana itu, Sabri menilai terkesan dipaksakan. Sebabnya, dari fakta hukum dan fakta persidangan, tidak ada yang bisa membuktikan pasal 404 ayat 1 KUHP Pidana.

“Kami tanyakan di persidangan ketika saksi pelapor Tan Paulin (Direktur SLE) dan adiknya Denny Irianto (Dirut SLE) menjadi saksi di persidangan, adakah perjanjian lain selain daripada perjanjian jasa alihmuat, keduanya menjawab tidak ada. Jadi, sebenarnya tidak ada dasar menjadi surat dakwaan. Sangat kental sekali pemaksaan,” jelas pengacara senior itu.
 

Baca Juga: 

Ahli di Sidang Timah Beberkan Alasan Negara Tidak Bisa Sita Aset Terdakwa


Sabri mengatakan kapal FC Ben Glory adalah milik PT IMC dan bukan milik para terdakwa yang hanya merupakan profesional di perusahaan. Serta, tidak ada fakta hukum yang membuktikan bahwa kapal tersebut diperoleh dari tindak kejahatan atau digunakan untuk kejahatan.

“Karena itu dalam nota pembelaan kami meminta agar para terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dan kapal FC Ben Glory dikembalikan kepada IMC, selaku pemilik sahnya,” tegas Sabri.

Pernyataan Sabri diperkuat Profesor Elfrida Ratnawati Gultom, pakar hukum dari Universitas Trisakti selaku saksi ahli yang meringankan terdakwa. Elfrida dalam kesaksiannya di PN Batulicin beberapa waktu lalu menjelaskan, bahwa perjanjian ini memenuhi unsur-unsur sah perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata.

“Oleh karena itu, perjanjian alih muat ini masuk ke ranah perdata, bukan pidana, dan segala perselisihan terkait perjanjian tersebut seharusnya diselesaikan melalui mekanisme perdata seperti arbitrase atau musyawarah,” jelas Elfrida.

Pendapat Elfrida ini turut didukung oleh prinsip hukum yang dikenal sebagai asas prioritas perdata atas pidana. Mengutip dari website mahkamahagung.go.id, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1956 pada Pasal 1 menerangkan, “Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

Dengan demikian menjadi jelas dalam terjadinya perkara perdata dan pidana, dapat dilakukan pemutusan terlebih dulu pada perkara perdatanya sebelum memutus perkara pidana.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)