Jakarta: Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, dinilai perlu dipikirkan secara matang. Terutama, dalam menjaga pendapatan negara.
"Kenaikan PPN hingga 12 persen pasti akan berdampak," kata pemerhati eksosistem tembakau Indonesia, Hananto Wibisono, dikutip dari Media Indonesia, Rabu, 4 Desember 2024.
Menurut dia, pendapatan negara perlu dijaga karena dampak kenaikan dapat memicu berbagai hal. Khususnya, di industri hasil tembakau (IHT).
"Selain bahan baku, semua proses produksi juga akan terkena dampak dari kenaikan PPN, termasuk biaya operasional seperti energi, transportasi, dan lainnya,” kata dia.
Pemerintah, kata dia, mesti meminimalisir dampak terkait hal ini. Termasuk, dalam memetakan dampak turunan lain seperti penggunaan rokok ilegal, yang bakal menjadi alternatif masyarakat.
Menurut Hananto, saat ini pendapatan negara dari cukai IHT mencapai Rp213 triliun. Pendapatan itu dihasilkan oleh rantai ekonomi yang melibatkan lebih dari enam juta orang.
Jika tidak berhati-hati, kata dia, dampaknya dapat memengaruhi perekonomian. Terutama, terkait pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8 persen.
“Produsen berpotensi menaikkan harga jual produknya, meskipun ini berisiko terhadap serapan pasar," kata dia.
Senada, Direktur Eksekutif Indodata, Danis T.S Wahidin melihat pendapatan negara perlu dijaga stabilitasnya. Mengingat, kontribusi cukai rokok menopang beban fiskal negara yang besaranya lebih kurang 11 persen dari APBN.
Dia mengutip hasil survei terbaru pihaknya, terkait rokok ilegal yag berpotensi menjamur akibat kenaikan PPN. Pada 2024, sebanyak 46,95 persen rokok ilegal beredar dan menyebabkan kerugian negara hingga Rp97,81 triliun.
“Besar sekali kerugian negara akibat rokok ilegal. Padahal, negara butuh sumber daya untuk melakukan pembangunan. Permasalahan rokok ilegal bukan sekadar pendapatan negara, tapi ada faktor lainnya, ada buruh, petani, dan lain-lain,” ujar Wahidin.