Pabrikan Thailand Tertekan Barang Tiongkok

Thailand. Foto: Unsplash.

Pabrikan Thailand Tertekan Barang Tiongkok

Arif Wicaksono • 15 July 2024 12:26

Bangkok: Ketika membuat kendaraan listrik Tiongkok, BYD, membuka pabrik pertamanya di Asia Tenggara di Thailand awal bulan ini, negara berpenduduk 66 juta jiwa ini banyak mendapatkan pujian.
 

baca juga:

Kepercayaan Konsumen Thailand Menurun


Namun, langkah Suzuki Motor yang akan menutup pabrik di Thailand yang memproduksi sebanyak 60 ribu mobil per tahun mencerminkan langkah yang diambil oleh banyak perusahaan lain di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini yang kesulitan menanggung beban impor murah dari Tiongkok dan menurunnya daya saing industri.

Thailand telah mengalami hampir 2.000 penutupan pabrik pada tahun lalu, sehingga berdampak buruk pada sektor manufaktur yang menyumbang hampir seperempat Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini membebani perekonomian senilai USD500 miliar dan pekerja seperti Chanpen Suetrong.

Pria berusia 54 tahun ini menghabiskan hampir dua dekade di V.M.C. Pabrik Kaca Pengaman di provinsi Samut Prakan tengah, memeriksa produk otomotif dan bangunan yang keluar dari jalur produksi.

Chanpen mengatakan dia tiba-tiba diberitahu pada April bahwa pabrik tersebut ditutup, sehingga dia kehilangan pekerjaan.

"Saya tidak punya tabungan. Saya punya utang ratusan ribu baht. Saya sudah tua, ke mana saya akan pergi bekerja? Siapa yang akan mempekerjakan saya?" tegas dia, dilansir Business Times, Senin, 15 Juli 2024.

Direktur di V.M.C. Safety Glass, Monchai Praepriwngam menolak berkomentar mengapa pabriknya ditutup. Keterpurukan sektor manufaktur telah membuat Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin, yang mengambil alih kekuasaan tahun lalu, kesulitan memenuhi janjinya untuk meningkatkan rata-rata pertumbuhan PDB tahunan menjadi lima persen selama masa jabatan empat tahunnya.

"Sektor industri telah merosot dan pemanfaatan kapasitas telah turun di bawah 60 persen,” kata Srettha kepada parlemen pekan lalu.

Model ekonomi Thailand hadapi masalah baru

Ketua Badan Perencanaan Negara Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional  Supavud Saicheua mengatakan model ekonomi Thailand yang selama puluhan tahun didorong oleh manufaktur telah rusak.

"Orang Tiongkok sekarang mencoba mengekspor ke kiri, kanan, dan tengah. Impor murah tersebut benar-benar menimbulkan masalah,” kata Supavud.

Supavud menuturkan Thailand harus kembali fokus pada produksi produk-produk yang tidak diekspor oleh Tiongkok sambil memperkuat sektor pertaniannya.

Menurut data terbaru Departemen Pekerjaan Industri Thailand penutupan pabrik antara Juli 2023 dan Juni 2024 meningkat 40 persen dibandingkan 12 bulan sebelumnya.  

Akibatnya pengangguran melonjak sebesar 80 persen pada periode yang sama, dengan lebih dari 51.500 pekerja kehilangan pekerjaan. Jumlah pembukaan pabrik baru juga melambat, dengan pabrik-pabrik besar tutup dan pabrik-pabrik kecil malah dibuka.

Untuk saat ini, perekonomian Thailand diperkirakan hanya tumbuh sekitar 2,5 persen pada tahun ini, salah satu faktor yang membuat mayoritas masyarakat Thailand tidak puas dengan kinerja Perdana Menteri Srettha.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arif Wicaksono)