Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho (kanan) hadir dalam side event di Dewan HAM PBB di Jenewa, 12 Maret 2024. (Institut Leimena)
Willy Haryono • 16 March 2024 16:44
Jenewa: Indonesia menekankan pentingnya literasi keagamaan lintas budaya sebagai implementasi pendidikan lintas agama, untuk mengatasi segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama yang menjadi tantangan dunia saat ini.
Pernyataan tersebut disampaikan Deputi Perwakilan Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan organisasi lainnya di Jenewa, Swiss, Duta Besar Achsanul Habib di sela side event Sidang Dewan HAM PBB ke-55 di Jenewa, Swiss, Selasa, 12 Maret lalu.
Tema yang diangkat adalah "The Role of Cross-Cultural Religious Literacy and Human Rights Education in Combating Intolerance, Negative Stereotyping, and Stigmatizazion of Persons Based on Religion and Belief”, sejalan dengan Resolusi Dewan HAM PBB 16/18.
"Pada saat ini, peningkatan literasi keagamaan lintas budaya dan pendidikan hak asasi manusia memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang menolak segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama," kata Dubes Habib saat menyampaikan sambutan pembuka.
Acara tambahan tersebut diinisiasi oleh Dubes Achsanul Habib bersama Perwakilan Tetap Republik Gambia untuk Kantor PBB dan organisasi internasional lainnya di Jenewa, Duta Besar Muhammadou M.O. Kah, yang juga memberikan sambutan pembuka. Acara dimoderatori oleh Presiden Asosiasi Forum Lintas Agama G20, Prof. W. Cole Durham, Jr., dengan peserta berasal dari perwakilan pemerintah negara-negara asing, organisasi internasional, dan masyarakat sipil di Jenewa.
Dubes Habib mengatakan tema yang diangkat sangat relevan dengan peningkatan kasus pelanggaran HAM terhadap individu berdasarkan agama atau kepercayaan di seluruh dunia. Selain intoleransi, stereotip dan stigmatisasi negatif, anggota kelompok agama dan penganut agama di seluruh dunia juga menghadapi kebencian, diskriminasi dan kekerasan setiap hari.
"Kegagalan untuk mengatasi masalah mendesak ini akan membawa kita ke jalur yang lebih berbahaya menuju ketidakamanan dan konflik seperti yang telah diajarkan sejarah selama beberapa dekade," katanya, Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Sabtu, 16 Maret 2024.
Dubes Habib menegaskan literasi keagamaan lintas budaya telah menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri Indonesia. Hal tersebut dipromosikan lewat dialog antaragama yang telah terjalin secara bilateral dengan 34 negara mitra.
Pemerintah Indonesia telah memprakarsai Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) pada Agustus 2023 untuk mengarusutamakan komitmen global dalam melaksanakan Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 tentang "Melawan Intoleransi, Stereotip, dan Stigmatisasi Negatif, serta Diskriminasi, Hasutan untuk Melakukan Kekerasan dan Kekerasan terhadap Orang-orang Berdasarkan Agama atau Kepercayaan."
Selanjutnya pada November 2023, Kementerian Hukum dan HAM RI bersama Institut Leimena juga telah melaksanakan Konferensi Internasional tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya untuk mendorong masyarakat yang damai dan inklusif.
Dubes Habib menjelaskan literasi keagamaan berarti membangun pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya perbedaan agama dan keyakinan, termasuk agama yang kita anut. Tujuannya memupuk rasa saling menghormati dan menghilangkan ketidakpedulian dan kesalahpahaman yang meningkatkan intoleransi dan prasangka.
"Kami senang Institut Leimena sebagai promotor utama literasi keagamaan lintas budaya di Indonesia dapat bergabung sebagai salah satu pendukung acara penting ini," kata Dubes Habib.
Baca juga: Tutup AICIS 2024, Menag: Perlu Peran Agama yang Inklusif Respons Krisis Kemanusiaan