Podium Media Indonesia: Masih Rojali-Rohana

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet

Podium Media Indonesia: Masih Rojali-Rohana

Abdul Kohar • 30 July 2025 06:59

TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat. Mereka bertanya mengapa fenomena 'rombongan jarang beli', atau rojali, dan 'rombongan hanya nanya-nanya' (rohana) makin sering terlihat di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta dan beberapa kota besar? Fenomena apa ini? Semata kian lemahnya daya beli, atau malah sudah dalam bentuk makin maraknya dan dalamnya kemiskinan?

Para 'rojalian' dan 'rohanaan' (belakangan ada yang menambahkan 'tetangga dekat' keduanya, yakni 'roceha' alias rombongan cek harga) itu datang berkelompok, lalu berkeliling toko tanpa membeli. Mereka mendekat, kadang nanya-nanya produk, kadang sekadar mengecek harga, tapi ujung-ujungnya pergi tanpa membungkus produk barang sebiji pun.

Perilaku seperti itu mulai dirasakan pekerja ritel di mal. Fenomena itu kian masif sepanjang 2025. Meski lalu lintas pengunjung mal masih tinggi, pola belanja mereka telah berubah. Banyak anak muda ke mal cuma jalan-jalan atau makan sekadarnya. Membeli barang ke tempat retail jarang banget. Bahkan, sebagian pengunjung memanfaatkan 'kunjungan' itu untuk membuat konten media sosial.

Dampaknya terasa nyata pada penjualan ritel. Data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut omzet toko turun signifikan dalam dua tahun terakhir. Dari awalnya yang 80%, turun menjadi 60%. Pada Ramadan dan Lebaran tahun ini, omzet ritel turun sekitar 9%.

Lalu, kalau begitu, mengapa mal tetap dikunjungi? Kenapa keramaian mal tak juga surut? Bila dalam tulisan sebelumnya saya menukil pendapat teman yang ahli di bidang psikologi dan hasil analisisnya menyebutkan 'rojali', 'rohana', atau 'roceha' terjadi karena masih banyak yang ingin mempertahankan gengsi, kali ini ditambah teori baru lagi.

Apa itu? Hasil riset menunjukkan sejumlah pengunjung datang ke mal hanya untuk melepas penat, bukan untuk berbelanja. Di antara mereka bahkan rutin mengunjungi mal, khususnya saat akhir pekan. Mereka ingin refreshing. Meskipun cuma lihat-lihat doang, mereka sudah senang, sudah fun banget.
 

Baca juga: Rojali dan Rohana, Kamu yang Mana?

Lalu, benarkah bahwa fenomena 'rojali, rohana, roceha' ialah cermin tingkat kedalaman kemiskinan? Tunggu dulu. Jawabnya bergantung kepada siapa yang kita tanya. Kata kritikus, boleh jadi itu tingkat kemiskinan kian dalam.

Namun, bila pertanyaan itu ditujukan kepada Badan Pusat Statistik (BPS), tentu jawabnya: bukan. Rojali dan rohana bukan kemiskinan, apalagi kemiskinan yang mendalam. Kendati begitu, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menyebut fenomena rojali harus menjadi 'sinyal sosial penting yang patut dicermati'.

Ateng mengutip hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 yang menunjukkan kelompok pengeluaran atas cenderung menahan konsumsi. Namun, perubahan itu belum berdampak langsung terhadap angka kemiskinan. Mengapa begitu? Karena yang menahan belanja ialah kelompok kelas atas.

BPS mencatat jumlah penduduk miskin nasional pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang, atau 8,47% dari total jumlah penduduk. Angka itu menurun 0,2 juta orang jika dibandingkan dengan posisi pada September 2024.

Namun, di kawasan perkotaan, terjadi tren sebaliknya. Persentase penduduk miskin di kota naik 0,07 poin menjadi 6,73%. Namun, di desa, angka jumlah kemiskinan justru turun menjadi 11,03%.
 
Baca juga: Marak Fenomena 'Rohana dan Rojali' Sejumlah Mal di Kota Bandung Terancam Gulung Tikar

Pada saat yang sama, jumlah setengah penganggur di kota juga meningkat sebanyak 460 ribu orang dari Agustus 2024 ke Februari 2025. Kenaikan harga bahan pokok mempersempit ruang konsumsi rumah tangga bawah dan kelompok rentan. Kalau tidak diantisipasi, mereka bisa turun ke bawah garis kemiskinan.

Kiranya, rojali, rohana, dan roceha dapat menjadi alarm sosial bagi pemerintah agar tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga menjaga daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.

Saya lalu teringat dengan lirik lagu Jawa karya A Riyanto, Is Hariyanto, dan Favourite's Group yang berjudul Rek Ayo Rek, lagu yang menggambarkan 'rojalian' dan 'rohanaan' tempo doeloe:

'Rek ayo rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan

Rek ayo rek, rame-rame bebarengan

Cak ayo cak, sopo gelem melu aku

Cak ayo cak, golek kenalan cah ayu

Ngalor ngidul lewat toko ngumbah mata

Masio mung nyenggal-nyenggol ati lego'.


(Teman yuk teman, jalan-jalan ke Tunjungan. Teman yuk teman, ramai-ramai bareng. Kak ayo kak, siapa mau ikut aku. Kak ayo kak, cari kenalan gadis ayu. Mondar-mandir lewat toko cuci mata. Meski sekadar menyenggol, hati lega).

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)