Ilustrasi. Foto: Dok MI
Insi Nantika Jelita • 16 June 2025 14:35
Jakarta: Ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh ketegangan geopolitik, fluktuasi suku bunga global, serta dinamika nilai tukar, berpotensi mendorong peningkatan utang luar negeri (ULN) Indonesia di masa mendatang.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menuturkan, pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia yang mencapai USD431,5 miliar pada April 2025, dengan pertumbuhan 8,2 persen secara tahunan, masih berada dalam batas aman secara ekonomi, namun tetap perlu diwaspadai.
"Risiko yang perlu diperhatikan pemerintah antara lain volatilitas rupiah dan potensi kenaikan suku bunga global yang bisa meningkatkan biaya pembayaran utang di masa depan," kata Josua kepada Media Indonesia, Senin, 16 Juni 2025.
Ia menjelaskan pertumbuhan utang terutama didorong oleh faktor pelemahan nilai tukar dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, yang berarti sebagian dari peningkatan nominal utang tersebut bersifat valuasi kurs daripada peningkatan riil dalam beban utang.
.jpg)
(Ilustrasi Bank Indonesia. MI/Ramdani)
Utang pemerintah naik, swasta kontraksi
Secara rinci, ULN pemerintah naik sebesar 10,4 persen menjadi USD208,8 miliar, sebagian besar masih dialokasikan ke sektor-sektor produktif seperti jasa kesehatan, administrasi pemerintahan, serta jasa pendidikan, yang diharapkan mampu memberikan efek pengganda positif bagi ekonomi domestik.
Sementara, ULN swasta tumbuh relatif lebih lambat sebesar 6,0 persen, menunjukkan bahwa pertumbuhan utang korporasi lebih terkontrol, khususnya di sektor jasa keuangan dan sektor riil seperti manufaktur dan pertambangan.
Dilihat dari sisi struktur, komposisi ULN jangka panjang masih mendominasi dengan porsi mencapai hampir 80 persen, menunjukkan risiko likuiditas yang relatif terkendali dalam jangka pendek. Bank Indonesia juga mencatat rasio Debt Service Ratio (DSR) masih berada pada level yang aman, mengindikasikan kemampuan pembayaran utang masih terjaga.
Namun demikian, di tengah dinamika global yang sarat ketidakpastian, pemerintah dituntut untuk tetap menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent) dalam pengelolaan utang. Fokus kebijakan tidak hanya terbatas pada pengendalian risiko pembiayaan, tetapi juga diarahkan pada peningkatan efisiensi belanja negara serta optimalisasi penggunaan utang untuk sektor-sektor produktif.
Selain itu, memperkuat kinerja ekspor dan mendorong arus masuk investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) juga menjadi kunci penting dalam menjaga kesinambungan eksternal. Kedua sektor ini berperan strategis dalam meningkatkan cadangan devisa dan menopang stabilitas nilai tukar rupiah.