Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, konstitusi mengamanatkan bahwa pemerintah harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Apapun pilihan yang diambil oleh Indonesia aspek perlindungan, kesejahteraan, perdamaian dunia adalah basis dalam keputusan untuk melakukan perluasan kerjasama global," tutur Rerie dalam Diskusi Denpasar 12 - Edisi 219, Rabu, 22 Januari 2025.
Menurut Rerie masyarakat perlu mendapat gambaran dari para pemangku kepentingan dan semua pihak secara transparan terkait bergabungnya Indonesia dalam BRICS.
BRICS bukan hanya Rusia
Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno mengungkapkan, titik berat BRICS itu tidak pada Rusia, melainkan pada Tiongkok dan India. Pemerintah menilai dua negara itu memiliki volume ekonomi yang besar sehingga banyak peluang yang bisa diciptakan dari sisi perjanjian perdagangan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri mengungkapkan bahwa dirinya termasuk orang yang tidak setuju dengan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS.
"Namun, kita harus
move on, karena keputusan sudah diambil. Yang harus dikedepankan adalah bagaimana kita membuat langkah strategis bersama BRICS," ujar Yose Rizal.
Menlu Sugiono foto bersama pemimpin dunia di KTT BRICS. Foto: Instagram
Menurut dia, kepentingan Indonesia yang bisa diangkat dalam BRICS tidak hanya perluasan pasar, tetapi bagaimana mendapatkan pembiayaan tambahan untuk membiayai program pembangunan nasional dan memperkuat fondasi aspirasi ASEAN.
Yose Rizal juga menilai, ada permasalahan yang harus dihadapi oleh Indonesia bila melakukan perdagangan dengan negara-negara BRICS, yaitu sebagian besar negara BRICS memiliki surplus perdagangan yang cukup besar.
"Bila semua produsen, yang membeli produknya siapa?" ujar Yose Rizal.
BRICS memberikan banyak peluang manfaat
Sementara itu, Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal di Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Tirta Nugraha Mursitama mengungkapkan, melihat keputusan bergabungnya Indonesia dalam BRICS ini mendatangkan sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia. Peluang kerja sama dengan negara-negara BRICS itu bisa difokuskan pada 15 komoditas seperti antara lain batu bara, minyak mentah, baterai lithium, hingga baterai untuk kendaraan listrik.
"Kalau ditanya investasi di bidang apa yang bisa kita tawarkan dengan negara BRICS yaitu hilirisasi," kata Tirta.
Kerja sama dengan negara-negara BRICS, tambah Tirta, juga bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kapabilitas Indonesia melalui transfer teknologi dari para anggotanya sehingga dapat meningkatkan daya saing nasional terhadap negara-negara di luar BRICS.
Di sisi lain Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti berpandangan ketertarikan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS karena menilai pasar negara-negara anggotannya sangat besar setara dengan 40 persen pasar negara di dunia.
Namun, ujar Esther, negara-negara anggota BRICS saat ini sedang menghadapi masalah ekonomi dengan beragam pemicunya. Neraca perdagangan Indonesia dengan sejumlah negara BRICS yang tengah mengalami defisit berpotensi dijadikan pasar saja. Selain itu, lanjut Esther, perlu juga dicermati tentang kewajiban finansial bagi Indonesia sebagai anggota baru di BRICS.
"Karena bukan pendiri kemungkinan adanya hak eksklusif dari para negara pendiri dalam pengambilan keputusan juga harus diwaspadai," tutur Esther.