Kemiskinan Ekstrem Melonjak Drastis di Negara-negara Berkonflik

Anak-anak di negara berkonflik hidup dalam kemiskinan ekstrem. Foto: Xinhua.

Kemiskinan Ekstrem Melonjak Drastis di Negara-negara Berkonflik

Husen Miftahudin • 28 June 2025 10:55

Washington: Konflik dan ketidakstabilan berdampak buruk pada 39 negara yang dilanda konflik, meningkatkan kemiskinan ekstrem lebih cepat daripada di tempat lain, memperparah kelaparan akut, dan mendorong beberapa tujuan pembangunan utama semakin jauh dari jangkauan, menurut penilaian komprehensif pertama Bank Dunia atas penderitaan mereka setelah covid-19.

Karena konflik menjadi lebih sering terjadi dan mematikan pada 2020-an, ekonomi di negara-negara ini tertinggal dari semua ekonomi pada negara lain dalam indikator-indikator utama pembangunan, menurut analisis tersebut.

Sejak 2020, PDB per kapita mereka telah menyusut rata-rata 1,8 persen per tahun, sementara PDB di negara-negara berkembang lainnya telah meningkat sebesar 2,9 persen. 

Tahun ini, 421 juta orang berjuang dengan pendapatan kurang dari USD3 per hari di negara-negara yang dilanda konflik dan penuh ketidakstabilan, lebih banyak daripada di seluruh dunia jika digabungkan. Jumlah itu diproyeksikan akan meningkat menjadi 435 juta, atau hampir 60 persen dari orang-orang miskin ekstrem di dunia, pada 2030.

"Selama tiga tahun terakhir, perhatian dunia tertuju pada konflik di Ukraina dan Timur Tengah, dan fokus ini kini semakin intensif," kata Kepala Ekonom Grup Bank Dunia IndermitGill dalam siaran persnya, Sabtu, 28 Juni 2025.

"Namun, lebih dari 70 persen orang yang menderita konflik dan ketidakstabilan adalah orang Afrika. Jika tidak diobati, kondisi ini menjadi kronis. Setengah dari negara-negara yang menghadapi konflik atau ketidakstabilan saat ini telah berada dalam kondisi seperti itu selama 15 tahun atau lebih. Penderitaan dalam skala ini pasti menular," tambahnya.

Studi baru ini menggarisbawahi mengapa tujuan global untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem sejauh ini tidak dapat dicapai. Sekarang tujuan tersebut terkonsentrasi di wilayah-wilayah di dunia yang kemajuannya paling sulit dicapai. Dari 39 negara yang saat ini diklasifikasikan sebagai negara yang menghadapi konflik atau ketidakstabilan, 21 negara diantaranya sedang mengalami konflik aktif.
 

Baca juga: Ini Penjelasan Lengkap soal Perbedaan Angka Kemiskinan versi Bank Dunia dan BPS


(Ilustrasi kemiskinan ekstrem. Foto: Freepik)
 

Kemiskinan ekstrem negara berkonflik capai 40%


Di negara-negara berkembang secara umum, tingkat kemiskinan ekstrem telah berkurang hingga satu digit, hanya enam persen. Namun, di negara-negara yang menghadapi konflik atau ketidakstabilan, tingkatnya hampir mencapai 40 persen.

Tingkat PDB per kapita mereka, yang saat ini sekitar USD1.500 per tahun, hampir tidak berubah sejak 2010, bahkan saat PDB per kapita telah meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi rata-rata USD6.900 di negara-negara berkembang lainnya.

Selain itu, tidak seperti negara-negara berkembang lainnya, negara-negara yang berjuang melawan konflik atau ketidakstabilan tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk mengimbangi pertumbuhan populasi.

Pada 2022, tahun terakhir data tersebut tersedia, lebih dari 270 juta orang berada dalam usia kerja di negara-negara tersebut, tetapi hanya setengah dari mereka yang bekerja.

"Stagnasi ekonomi, alih-alih pertumbuhan, telah menjadi norma dalam ekonomi yang dilanda konflik dan ketidakstabilan selama satu setengah dekade terakhir," papar Wakil Kepala Ekonom Grup Bank Dunia dan Direktur Prospects Group M. Ayhan Kose menambahkan.

"Masyarakat global harus lebih memperhatikan keadaan ekonomi ini. Memulai pertumbuhan dan pembangunan di sini tidak akan mudah, tetapi itu dapat dilakukan, dan itu telah dilakukan sebelumnya. Dengan kebijakan yang tepat sasaran dan dukungan internasional yang lebih kuat, para pembuat kebijakan dapat mencegah konflik, memperkuat tata kelola, mempercepat pertumbuhan, dan menciptakan lapangan kerja," sambung Ayhan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)