Ilustrasi palu pengadilan. (Anadolu Agency)
Tokyo: Pemerintah Jepang memberikan kompensasi sebesar USD1,4 juta atau sekitar Rp22 miliar kepada Iwao Hakamada, pria yang pernah menjadi terpidana mati terlama di dunia setelah pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah atas kasus pembunuhan yang terjadi hampir 60 tahun lalu, demikian disampaikan pejabat pengadilan Jepang pada Selasa, 25 Maret 2025.
Ganti rugi ini dihitung sebesar ¥12.500 atau sekitar Rp130 ribu untuk setiap hari yang dihabiskan Hakamada di balik jeruji besi selama lebih dari 40 tahun, sebagian besar waktunya dihabiskan di sel terpidana mati, di mana setiap hari bisa menjadi hari terakhirnya.
Empat Dekade di Penjara karena Salah Vonis
Melansir dari Channel News Asia, Selasa, 25 Maret 2025, Hakamada, mantan petinju yang kini berusia 89 tahun, dibebaskan dari segala tuduhan pada 2023 setelah perjuangan panjang yang dilakukan oleh saudara perempuannya dan para pendukungnya.
Dalam putusan yang dikeluarkan pada Senin kemarin, Pengadilan Distrik Shizuoka menyatakan bahwa Hakamada berhak menerima kompensasi sebesar ¥217.362.500.
Pengadilan yang sama pada September 2023 memutuskan Hakamada tidak bersalah dalam persidangan ulang dan menemukan bahwa kepolisian telah merekayasa barang bukti yang menyebabkan vonisnya.
"Hakamada mengalami interogasi tidak manusiawi yang bertujuan memaksanya mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak ia lakukan," demikian bunyi putusan pengadilan.
Menurut laporan media lokal, jumlah kompensasi ini merupakan yang terbesar yang pernah diberikan dalam kasus serupa di Jepang.
Meski demikian, tim kuasa hukum Hakamada menilai kompensasi tersebut tidak cukup untuk menggantikan penderitaan yang dialami klien mereka.
Mereka menegaskan bahwa puluhan tahun penahanan di bawah bayang-bayang eksekusi berdampak parah pada kesehatan mental Hakamada.
"Dia hidup dalam dunia fantasi akibat trauma berkepanjangan selama di sel terpidana mati," kata pengacaranya.
Hakamada menjadi terpidana mati kelima di Jepang yang berhasil mendapatkan persidangan ulang di era pasca-perang. Menariknya, semua terdakwa dalam empat kasus sebelumnya juga akhirnya dinyatakan tidak bersalah.
Kasus ini menyoroti sistem peradilan pidana Jepang yang kerap mendapat kritik karena tingkat keyakinan bersalah yang hampir 100 persen serta dugaan pemaksaan pengakuan dalam proses interogasi. (
Muhammad Reyhansyah)
Baca juga:
Pertama Sejak 2010, Narapidana AS Dieksekusi Mati oleh Regu Tembak