1 Tahun Genosida Gaza: Ekonomi Berada di Jurang Kebangkrutan

Gelombang protes pendudukan oleh Israel di Gaza. Foto: Anadolu

1 Tahun Genosida Gaza: Ekonomi Berada di Jurang Kebangkrutan

Fajar Nugraha • 8 October 2024 12:29

Tel Aviv: Ketika genosida Israel menimbulkan bayangan gelap di kawasan dan dunia, para ahli memperingatkan bahwa miliaran yang dihabiskan untuk menghancurkan Gaza dan Palestina dapat menjadi biaya yang terlalu tinggi bagi ekonominya sendiri.

Menurut seorang peneliti ekonomi Israel, hanya ada sedikit atau tidak ada tanda-tanda pemulihan, dengan indikator yang lemah, menurunnya investasi asing dan pariwisata, bersama dengan eksodus warga yang mengkhawatirkan, menggambarkan gambaran suram bagi masa depan Israel.

"Krisis ekonomi hanya akan semakin buruk. Tidak ada prospek untuk pemulihan," ekonom politik Israel Shir Hever memperingatkan dalam sebuah wawancara dengan Anadolu, dikutip Selasa 8 Oktober 2024.

Pernyataannya menggemakan penilaian terkini oleh Yoel Naveh, mantan kepala ekonom di Kementerian Keuangan Israel, yang mengatakan pemerintah harus bertindak "dengan penuh semangat dan segera untuk mencegah risiko krisis keuangan yang mengancam."

Dia menambahkan, lintasan saat ini dapat "menyeret ekonomi yang dilanda perang ke dalam resesi dan membahayakan keamanan nasional negara itu."

Biaya ekonomi dari serangan mematikan Israel di Gaza, tempat Israel telah menewaskan dan melukai hampir 140.000 warga Palestina sejak serangan lintas batas Hamas Oktober lalu, diyakini mencapai lebih dari $67 miliar, menurut perkiraan ekonom Israel pada bulan Agustus.

Bank Israel mengatakan pada bulan Mei bahwa biaya perang akan melonjak menjadi sekitar 250 miliar shekel (USD66 miliar) hingga akhir tahun depan.

Di sisi lain, ekonomi Israel hanya tumbuh sebesar 0,7% pada kuartal kedua tahun 2024, jauh di bawah perkiraan 3?ri analis Bursa Efek Tel Aviv.

Pada bulan Agustus, rasio defisit anggaran terhadap PDB mencapai minus 8,3%, meningkat dari minus 7,6% pada bulan Juni, minus 6,2% pada bulan Maret, dan minus 4,1% pada bulan Desember lalu.

Pada bulan Agustus saja, defisit anggaran mencapai 12,1 miliar shekel (USD3,22 miliar).

“Harga-harga tinggi. Standar hidup menurun. Terjadi inflasi. Terjadi penurunan nilai mata uang Israel,” kata Hever.

Investasi asing telah mengering, lebih dari 85.000 orang telah keluar dari angkatan kerja, dan ada “seperempat juta orang yang telah mengungsi di dalam negeri dan kehilangan pekerjaan dan rumah mereka,” tambah Hever.

“Dan, tentu saja, sejumlah besar orang yang baru saja pergi. Jumlah orang yang pergi benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya, dalam sejarah Israel,” kata Hever.

“Anda melihat orang-orang hanya membeli tiket sekali jalan untuk melihat apa yang akan terjadi. Ketika Anda melihat begitu banyak orang melakukan ini hanya untuk melindungi keluarga mereka, hasilnya adalah mereka yang bertahan merasa bahwa negara sedang dalam proses keruntuhan.”

"Indikator ekonomi bukanlah cerita lengkap,” tegas Hever.

“Cerita lengkapnya adalah perspektif penduduk mengenai masa depan. Orang-orang yang tidak percaya bahwa ada masa depan. Orang-orang yang tidak percaya bahwa negara Israel akan pernah mampu pulih dari krisis ini,” kata Hever.

“Mereka tidak berinvestasi. Mereka tidak ingin membesarkan anak-anak mereka di Israel. Mereka tidak ingin mencari pekerjaan atau belajar. Ini berarti bahwa krisis ekonomi hanya akan semakin buruk. Tidak ada prospek untuk pemulihan,” ungkap Hever.

Warga Israel menarik tabungan mereka untuk membawa mereka keluar dari negara itu dan pemerintah telah menanggapi dengan mengancam akan mengambil “dana pensiun Anda dan menginvestasikannya dalam perekonomian,” katanya.

Keadaan darurat yang terus-menerus

Mengenai situasi keuangan dalam negeri, ekonom tersebut mengatakan, lebih dari 46.000 bisnis telah bangkrut, sementara entitas yang lebih besar juga merasakan tekanan keuangan.

“Pelabuhan Eilat juga bangkrut, yang merupakan satu-satunya pelabuhan yang dimiliki Israel di Laut Merah,” kata Hever.

“Pariwisata tidak ada. Tidak ada pariwisata secara keseluruhan, investasi internasional di Israel hampir tidak ada sama sekali,” ucap Hever.

Kekhawatiran utama, kata Hever, adalah sektor teknologi tinggi Israel, yang dulunya merupakan “bagian terpenting dari ekonomi Israel.”

“Perusahaan-perusahaan teknologi tinggi ini menggunakan semua sumber daya untuk mencoba pindah. Mereka sangat khawatir bahwa mereka tidak dapat beroperasi di Israel dalam kondisi saat ini,” kata Hever.

“Mereka tidak percaya bahwa para pekerja tidak akan dikirim untuk berperang. Mereka tidak percaya bahwa daerah itu aman. Mereka tidak percaya bahwa ekonomi stabil. Mereka tidak percaya pemerintah tidak akan campur tangan dan menyita properti mereka,” imbuh Hever.

Perusahaan-perusahaan ini sekarang “berusaha agar diri mereka dijual ke luar,” katanya, mengutip contoh perusahaan keamanan siber Israel Wiz, yang mengincar akuisisi Google senilai USD23 miliar yang menarik perhatian media besar di negara itu.

“Namun, tentu saja, Google membatalkan kesepakatan ini. Mereka tidak pernah membeli. Mereka tidak ingin melakukan investasi semacam itu.”


Hukum dan sanksi internasional

Ekonomi Israel, kata Hever, sedang bekerja dalam keadaan darurat yang terus-menerus, yang merupakan satu-satunya hal yang mencegah keruntuhan total.

“Orang-orang ingin memiliki pemilu. Mereka ingin memiliki proses penyelidikan semua korupsi dan kasus-kasus tersebut,” kata Hever.

“Namun selama situasi militer dan keamanan begitu sulit dan begitu banyak dalam keadaan darurat, semua ini ditunda,” sebut Hever.

Pukulan lain bagi ekonomi Israel adalah karena gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) global, yang menurut Hever tidak pernah “begitu besar, begitu kuat.”

Israel, katanya, berada di sekitar tahap ketiga dan terakhir sanksi.

“Ketika pemerintah mengatakan mereka tidak dapat terus berdagang dengan negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan maka Anda benar-benar tahu bahwa itu adalah tahap terakhir,” kata Hever.

“Ekonomi Israel sangat bergantung pada perdagangan internasional dan perjanjian internasional. Mitra dagang terbesar mereka adalah Uni Eropa,” menurut Hever.

Kekhawatiran di sini, jelasnya, berpusat pada barang-barang penggunaan ganda yang “di satu sisi terkadang diperlukan agar ekonomi sipil berfungsi, tetapi juga dapat dibuat menjadi senjata.”

Putusan Mahkamah Internasional pada 19 Juli menyatakan pendudukan Israel atas wilayah Palestina melanggar hukum dan "membantu pendudukan merupakan kejahatan perang," katanya.

Ini berarti, lanjutnya, Israel tidak dapat mengimpor material apa pun untuk infrastruktur kecuali mereka membuktikan bahwa material tersebut tidak akan digunakan untuk membuat senjata atau untuk tujuan apa pun yang berkaitan dengan permukiman ilegal Israel.

"Ada kewajiban bagi negara ketiga untuk tidak memperdagangkan barang-barang tersebut sama sekali. Jika orang berpikir bahwa mungkin untuk memiliki sistem ekonomi yang berfungsi di mana barang-barang penggunaan ganda dilarang maka ini adalah ilusi," kata Hever.

"Ekonomi Israel akan runtuh di bawah sanksi internasional sampai mereka mengakui tuntutan hukum internasional,” pungkas Hever.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)