Ilustrasi industri tekstil. Foto: Dokumen Kemenperin
Insi Nantika Jelita • 25 October 2024 16:09
Jakarta: Pailitnya perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex mengindikasikan kondisi industri tekstil dalam negeri melemah.
Seperti diketahui, perusahaan tekstil ternama yang sudah berdiri hampir 60 tahun itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Kota Semarang pada Senin, 21 Oktober 2024.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizki menilai Sritex tidak mampu menghadapi tekanan global dari kondisi pandemi covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang mempengaruhi penurunan ekspor tekstil dan garmen. Hal ini diperparah dengan gempuran produk-produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia.
"Kondisi sektor tekstil kita melemah. Ini diikuti oleh maraknya impor baju bekas ilegal," ujar Yanuar dilansir Media Indonesia, Jumat, 25 Oktober 2024.
Yanuar mengaku tidak mengetahui pasti penyebab bangkrutnya Sritex. Namun, berdasarkan putusan PN Semarang, penetapan pailit itu setelah pengadilan mengabulkan permohonan salah satu kreditur Sritex yaitu PT Indo Bharat Rayon, yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.
(1).jpg)
Ilustrasi PT Sri Rejeki Isman Tbk. Foto: PT Sri Rejeki Isman Tbk
Utang jumbo Sritex
Sritex dikabarkan memiliki utang jumbo hingga ratusan miliar rupiah kepada para kreditur.
Sritex memiliki empat entitas anak yang mendukung bisnisnya, tiga di antaranya yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, PT Primayudha Mandiri Jaya juga dinyatakan pailit oleh PN Semarang.
Yanuar menjelaskan pelemahan industri manufaktur sudah terlihat dari jauh hari. Pada tahun lalu, sejumlah perusahaan tekstil dan garmen telah tutup di berbagai wilayah seperti di Banten, Tangerang, Pekalongan, Sukabumi, dan lainnya.
Yanuar mengatakan industri tekstil dan garmen semakin tertekan dari sisi suplai dan juga dari sisi demand atau permintaan yang menurun karena daya beli yang berkurang.
Secara umum, lanjutnya, produk Indonesia kalah saing dengan negara lain. Tiongkok, kata Yanuar, mengekspor produk-produk dengan harga di bawah pasar dalam negeri. Plus marjin biaya distribusi yang jauh dibawah harga pokok produksi di Tanah Air. Produk impor pun lebih kompetitif dan leluasa menguasai pasar dalam negeri.
"Ini yang membuat rendahnya daya saing produk Indonesia. Impor pakaian jadi jauh lebih murah dari beli barang di dalam negeri," ucap dia