Thailand. Foto: Unsplash.
Bangkok: Pemerintah Thailand mempertimbangkan rencana untuk mengumpulkan sekitar USD1 miliar dari pasar global melalui penjualan obligasi negara dalam mata uang asing pertama di negara tersebut dalam dua dekade.
Menurut Direktur Jenderal Kantor Pengelolaan Utang Publik Thailand Patchara Anuntasilpa kesepakatan itu dimaksudkan untuk memberikan tolok ukur bagi perusahaan-perusahaan Thailand yang memanfaatkan pasar luar negeri untuk pendanaan mereka.
Pihak berwenang di negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara ini lebih memilih untuk mengumpulkan miliaran dolar AS yang diperlukan setiap tahunnya untuk menjembatani kesenjangan anggaran dan mendanai investasi lokal karena tingkat suku bunga yang rendah.
Pada 2022, Thailand menunda rencana penawaran obligasi dolar AS sebagian karena volatilitas pasar. Namun Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin telah mengusulkan penjualan obligasi luar negeri agar investor global dapat membiayai proyek-proyek berkelanjutan.
"Pilihan yang paling mungkin adalah obligasi dalam mata uang dolar AS karena ini adalah mata uang dan patokan yang banyak digunakan,” kata Patchara, dilansir
Business Times, Kamis, 15 Februari 2024.
Wakil Menteri Keuangan Thailand Julapun Amornvivat mengatakan bulan lalu, pihak berwenang dengan hati-hati mengevaluasi penjualan uang kertas dalam mata uang dolar AS, yen atau yuan dengan target untuk diterbitkan dalam satu hingga dua tahun ke depan.
Dia mengakui biaya pinjaman obligasi dengan harga dolar AS akan lebih tinggi dari obligasi biasa. Namun akan lebih murah atau setara dengan biaya lokal jika dalam mata uang yen atau yuan.
Surat utang negara AS bertenor 10 tahun memiliki imbal hasil sekitar 4,24 persen. Jumlahnya lebih rendah bila dibandingkan dengan yield 2,55 persen untuk surat utang negara lain bertenor serupa. Obligasi pemerintah Tiongkok yang dihargakan dalam yuan memiliki yield 2,43 persen.
Biaya keseluruhan penerbitan obligasi oleh Thailand dalam mata uang apapun termasuk yen akan lebih tinggi dibandingkan suku bunga lokal.
"Ini sangat menantang karena biaya pendanaan lokal lebih murah dan nyaman, jadi kita perlu meyakinkan masyarakat mengapa kita perlu melakukannya dengan cara yang sulit,” kata Patchara.
Membiayai proyek-proyek berkelanjutan
Hasil dari penjualan obligasi internasional kemungkinan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek terkait keberlanjutan karena memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Srettha tahun lalu bertemu dengan CEO BlackRock Larry Fink dan mendesaknya untuk mempertimbangkan investasi pada obligasi berkelanjutan yang diterbitkan oleh Pemerintah Thailand.
Saat ini, utang dalam mata uang asing hanya menyumbang 1,8 persen dari total utang pemerintah Thailand dan sebagian besar berbentuk pinjaman dari lembaga multilateral.