BI Ungkap Tiga Tantangan Besar Risiko Stabilitas Keuangan

Bank Indonesia. Foto : MI/Usman Iskandar.

BI Ungkap Tiga Tantangan Besar Risiko Stabilitas Keuangan

Fetry Wuryasti • 27 March 2024 22:06

Jakarta: Bank Indonesia (BI) meluncurkan buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ke-42. KSK pada 21 tahun yang lalu diluncurkan dengan tiga tujuan.

Pertama, sistem peringatan dini kepada industri dan otoritas sistem dan jasa keuangan terhadap berbagai risiko di stabilitas sistem keuangan yang akan dihadapi ke depan. Sehingga otoritas dan industri bisa mengantisipasi terhadap risiko.

Kedua, membangun keyakinan pasar terhadap stabilitas sistem keuangan, karena otoritas termasuk Bank Indonesia memantau risiko dan merespon dengan kebijakan terhadap risiko di stabilitas sistem keuangan.

Ketiga, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas dari Bank Indonesia, sebagai otoritas di bidang makroprudensial, bersama otoritas lainnya seperti OJK, Kementerian Keuangan, dan LPS memiliki akuntabilitas terhadap terjaganya stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

Deputi Gubernur BI Juda Agung mengatakan assessment terhadap risiko stabilitas sistem keuangan, paling tidak menghadapi tiga tantangan besar.

Pertama, masih tingginya ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global. Dengan inflasi di negara maju yang sudah mencapai puncaknya, dia akui sudah tampak potensi suku bunga kebijakan di Amerika Serikat untuk mulai memasuki fase penurunannya di semester II-2024.

"Namun ketidakpastian tentang waktu dan besaran terhadap siklus pelonggaran moneter itu yang seringkali mendorong munculnya ketidakpastian terhadap berakhir masa-masa higher for longer Fed Fund Rate dan juga kapan suku bunga tinggi akan berakhir," kata Juda di Jakarta, Rabu, 27 Maret 2024.

Apabila penurunan Fed Fund Rate lebih cepat, tentu akan lebih cepat berakhirnya periode suku bunga tinggi secara global. Ketidakpastian itu kemudian menyebabkan aliran modal ke negara emerging market termasuk Indonesia menjadi agak tertahan pada bulan-bulan terakhir.

Ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Perkembangan ini diperparah dengan meningkatnya fragmentasi perdagangan global. Apalagi kebijakan politik global bisa berubah drastis, mengingat saat ini 50 persen populasi di dunia sedang mengadakan pemilihan umum termasuk di Amerika Serikat.

Ketidakpastian selanjutnya berasal dari Tiongkok, dimana krisis properti dan lemahnya konsumsi menjadi permasalahan utama, yang jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada melemahnya pertumbuhan ekonomi global bahkan meningkatnya risiko stabilitas sistem keuangan global.
 

Baca juga: Pemerintah Daerah Diminta Tingkatkan Sinergi Demi Kendalikan Inflasi Pangan
 

Stabilitas sistem keuangan RI masih terjaga


Di tengah tingginya ketidakpastian global kondisi stabilitas sistem keuangan (SSK) di Indonesia terjaga dengan baik. Ketahanan sektor keuangan tercermin dari likuiditas yang memadai, risiko kredit yang menurun, dan permodalan yang sangat kuat, serta didukung oleh ketahanan korporasi yang baik, mendorong tetap stabilnya kondisi sistem keuangan.

Kredit perbankan tumbuh 11,28 persen (yoy) di Februari, didukung oleh ketersediaan likuiditas bank, dan permintaan kredit dari dunia usaha masih tumbuh dengan baik.

Kondisi likuiditas perbankan masih cukup ample. Saat ini rasio alat likuid per dana pihak ketiga (AL/DPK) masih berada di 27 persen, termasuk surat-surat berharga yang dimiliki seperti SBN, SRBI dan sebagainya, yang bisa menjadi sumber likuiditas di dalam penyaluran kredit.

"Tentu tidak bisa kita bandingkan kondisi likuiditas pada saat ini dengan pandemi. Sebab saat pandemi, orang tidak melakukan aktivitas ekonomi secara kuat, konsumsi juga lemah dan sebagainya. Sehingga tabungan (DPK) juga masih tinggi, membuat likuiditas di perbankan sangat melimpah," kata Juda.

Bank Indonesia meyakini pertumbuhan DPK akan kembali normal di tahun ini. Masih tingginya alat AL/DPK, diperkirakan pertumbuhan kredit akan tumbuh di kisaran 10 persen sampai 12 persen.

Risiko kedua, yang perlu terus otoritas pantau adalah terkait dengan digitalisasi keuangan. Digitalisasi sebagaimana inovasi keuangan, ibarat pedang bermata dua.

Di satu sisi akan mempermudah akses, mendorong industri keuangan, dan pendalaman pasar keuangan. Namun di sisi lain, digitalisasi keuangan potensi dampak pada munculnya sejumlah risiko SSK, termasuk meningkatnya risiko interkoneksi dengan bank dan munculnya berbagai model bisnis baru yang sebelumnya risiko mungkin belum dikenal sebelumnya.

Dia mencontohkan kasus Silicon Valley Bank di Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan ada beberapa bisnis model yang risikonya memang belum dikenali oleh industri dan otoritas keuangan di Indonesia.

Termasuk dalam risiko digitalisasi adalah risiko siber, yang tidak pernah berhenti dan terus mengancam sistem keuangan dengan dampak yang sangat signifikan pada SSK.

Untuk mengurangi dampak risiko siber, lembaga keuangan perlu mengimplementasikan langkah keamanan siber yang kuat, meningkatkan kesadaran siber, serta berinvestasi kepada teknologi dan SDM yang mampu menghadapi ancaman siber dengan efektif.

"Koordinasi antarlembaga keuangan, regulator, dan pihak terkait menjadi penting dalam mengelola risiko siber," tegas Juda.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)