Ilustrasi KPK/Medcom.id/Candra
Cahya Mulyana • 6 October 2023 21:39
Jakarta: Pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sudah jauh dari relnya. Independensi dan profesionalisme yang seharusnya mendasari setiap kerja KPK terkesan tercerabut.
Kedua landasan tersebut dinilai terkooptasi oleh kepentingan politik yang mencuat setelah revisi Undang-Undang KPK dan isu pelanggaran etik para pimpinannya. Kerja-kerja penumpasan rasuah pun tergadaikan agenda politik serta KPK semakin jauh dari semangat pendiriannya.
"Ya kalau menurut saya, pemberantasan korupsi di era korupsi ini gagal. Buktinya IPK (indeks persepsi korupsi) sudah turun dari 40 di 2019 dan 2022 jadi 34. Itu menujukan kini korupsi terjadi di segala lini pemerintahan," kata Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun kepada Media Indonesia, Jumat, 6 Oktober 2023.
Ia mengatakan bukti lain dari kegagalan KPK selain IPK yang merosot tajam, penanganan kasus yang diduga menjerat eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Perkara ini mencuat di tengah dugaan pemerasan oknum pimpinan KPK dan kondisi politik menjelang pemilihan presiden 2024.
Menurut dia pengungkapan perkara rasuwah oleh KPK harus tebang pilih dalam arti mengedepankan bobotnya atas kerugian negara. Tetapi skala prioritas itu digunakan hanya kepada lawan politik rezim saat ini.
"Kalau saat ini prioritasnya lawan politik atau mereka yang sudah tidak satu perahu lagi dengan rezim dalam mengusung calon presiden. Jadi ini interkoneksi anatara kasus korupsi, NasDem tidak mendukung oleh istana, juga ada kemungkinan pihak yang mengincar posisi dari posisi menteri jatah NasDem itu," paparnya.
Belum lagi, kata dia, kasus Syahrul Yasin Limpo ini terkait dengan barter politik menjelang Pemiliha Presiden (Pilpres) 2024. Sebagaimana diketahui terdapat standar ganda yang dilakukan rezim saat ini dengan sebagian mendukung dua calon presiden.
"Kenyatannya, era kedua rezim saat ini KPK terlihat digunakan untuk kepentingan politik. Belum lagi lembaga hukum yang ada tidak lagi independen tapi dikendalikan seperti juga MK (Mahkamah Konstitusi), hingga pengadilan," jelasnya.
Menurut dia mencari pejabat yang melakukan kasus rasywah di negeri ini sangat mudah, bak berburu di kebun binatang. Maka KPK perlu mengedepankan skala prioritas.
Memang, kata dia, KPK sebelum rezim saat ini beberapa kali mendapatkan tuduhan serupa yakni digunakan untuk menumpas lawan politik. Misalnya saat mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dicokok KPK.
Tetapi dalam waktu yang sama, lanjut Refly, KPK juga menjerat besan penguasa kala itu, Soesilo Bambang Yudhoyono. Bahkan kasusnya mencuat menjelang Pemilu 2009. "Maka itu KPK masih bisa disebut masih independen," ujarnya.
Seharusnya, lanjut Refly, pemberantasan korupsi terbebas dari kepentingan politik penguasa. KPK sewajarnya menjalankan agenda murni membebaskan birokrasi dari tindak pidana korupsi.
"Yang jelas KPK sebelum era Firli (Bahuri) itu masih baik, sejak revisi UU KPK sudah jauh dari independen," katanya.
Ia juga mengomentari soal dugaan pemerasan oknum pimpinan KPK terkait kasus Syahrul Yasin Limpo. Menurut dia kasus ini harus diusut tuntas dan pelakunya wajib diganjar sanksi berkali lipat.
"Sebab KPK dihadirkan saat kepolisian dan kejaksaan bermasalah. Kalau sekarang KPKnya bermasalah harus diganti semua orangnya dengan yang lebih berintegritas," pungkasnya.