Ilustrasi. Foto: dok MI.
Media Indonesia • 27 February 2024 10:29
Jakarta: Inisiatif pemerintah melalui beragam guliran bantuan sosial (bansos) dinilai cukup masif. Karenanya, pelebaran defisit anggaran negara bukan menjadi sesuatu yang mengagetkan. Sebab, mau tak mau pengambil kebijakan menambah dana belanja di saat pendapatan negara masih cukup terbatas.
"Cukup bisa dipahami kenaikan defisit itu, karena akan ada penambahan beberapa program baru dari pemerintah berupa BLT Tunai, penambahan subsidi pupuk," kata Analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita saat dihubungi, dikutip Selasa, 27 Februari 2024.
Namun ia mempertanyakan perihal alokasi dana subsidi dan kompensasi energi listrik serta Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, harga energi belakangan ini relatif berada di level yang normal dan tak ada indikasi gejolak.
"Artinya, jika ditunda kenaikannya, maka angka subsidinya semestinya tidak bertambah atau tidak berkurang, apalagi harga minyak dunia juga masih terpantau normal. Lantas mengapa justru berpengaruh kepada kenaikan defisit APBN?" kata Ronny.
Pelebaran defisit juga mengindikasikan adanya penarikan utang yang dilakukan pemerintah untuk menambah belanja. Meski kenaikan defisit dinilai masih berada dalam posisi yang aman, pemerintah perlu tetap berhati-hati melakukan pengelolaan anggaran.
"Level defisit sebesar itu masih bisa ditoleransi secara konstitusional, karena memang ambang batasnya menurut perundangan yang ada adalah tiga persen. Jadi masih bisa diterima," tutur Ronny.
"Namun demikian, harus dipastikan penggunaan dana dari utang yang baru tersebut produktif, yakni, mendorong pertumbuhan ekonomi atau menghasilkan imbas yang berkelanjutan kepada perekonomian dan juga memberikan imbas kepada fiskal nasional agar tetap berkelanjutan di sisi lain," sambung dia.
Jika itu tidak dilakukan, Ronny mengkhawatirkan rasio utang Indonesia akan semakin besar dari tahun ke tahun. Hal itu dinilai dapat berdampak pada kondisi fiskal yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan.
Baca juga: Presiden Disebut Tak Elok Ikut Bahas Program Makan Siang Gratis
Pemerintah sengaja memperlebar defisit
Sebelumnya diketahui, pemerintah mengerek besaran defisit menjadi di kisaran 2,3 persen hingga 2,8 persen. Angka itu lebih tinggi dari asumsi awal di angka 2,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Defisit tahun ini yang direncanakan dalam APBN 2,29 persen atau 2,3 persen, tetapi
outlook-nya itu 2,8 persen," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat ditemui di kantornya, Jakarta, kemarin.
Pelebaran
outlook defisit anggaran itu, kata dia, dibahas oleh para menteri dan Presiden dalam Sidang Kabinet di Istana Kepresidenan. Penambahan selisih tersebut didasari oleh banyaknya kebutuhan uang negara untuk mengeksekusi beragam program subsidi dan bantuan sosial.
Salah satu alasan pelebaran defisit ialah karena adanya keperluan penambahan anggaran subsidi pupuk. Usul yang muncul dari sidang kabinet ialah anggaran untuk menyubsidi pupuk ditambah Rp14 triliun.
Sebab, alokasi dana subsidi pupuk yang tersedia saat ini senilai Rp26 triliun dinilai tak mencukupi. Pasalnya alokasi dana tersedia itu hanya bisa memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi sebanyak 5,7 juta ton.
"Karena kita butuh subsidi pupuk sesuai dengan jumlah setiap tahunan, biasanya sekitar tujuh sampai delapan juta ton. Jadi jelas tidak cukup. Itu tercermin dari produksi padi, bukan hanya karena pupuk, tetapi juga karena El Nino, itu turunnya banyak. Januari-Maret itu demand dan supply delta-nya sudah short 1 juta," terang Airlangga.
Alasan kedua dari pelebaran defisit tersebut ialah untuk menjalankan program Bantuan Langsung Tunai (
BLT) dalam rangka mitigasi fluktuasi harga sembako. Program itu, kata Airlangga, menghabiskan dana negara hingga Rp11 triliun.
Selain dua hal itu, pemerintah juga sepakat tidak akan mengubah tarif listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM), setidaknya sampai Juni 2024. Penundaan pengubahan tarif itu dinilai turut menjadi sebab pelebaran defisit guna memberi subsidi energi dan kompensasi kepada Pertamina dan PLN.
"Tidak ada kenaikan listrik, tidak ada kenaikan BBM sampai dengan Juni, baik itu yang subsidi maupun non subsidi. Itu akan membutuhkan additional anggaran untuk Pertamina maupun PLN. Itu nanti akan diambil baik nanti dari SAL maupun dari pelebaran defisit di 2024," jelas Airlangga.
"Jadi itu (
range) 2,3 persen sampai 2,8 persen. Jadi tahun depan pun dalam bandwith, kerangka yang sama, 2,4 persen-2,8 persen, itu realistis," ucap Airlangga meyakinkan.
(M ILHAM RAMADHAN)