Ilustrasi pengembangan panas bumi. Foto: dok PGE.
Jakarta: Transformasi industri hijau di Indonesia memasuki babak baru. PT Futura Energi Global Tbk (FUTR) resmi melakukan proses negosiasi untuk akuisisi oleh PT Aurora Dhana Nusantara (Ardhantara).
Aksi korporasi ini menandai perubahan signifikan FUTR dari perusahaan berbasis konten digital menjadi entitas energi terintegrasi dengan fokus utama pada energi terbarukan.
Executive Chairman Ardhantara Anggara Suryawan menjelaskan pihaknya melalui anak usaha PT Sejahtera Alam Energi (SAE) telah mengantongi konsesi panas bumi (geotermal) di Gunung Slamet, Jawa Tengah dengan potensi kapasitas terpasang sekitar 220 megawatt (MW).
Menurut dia, proyek ini bahkan telah memiliki perjanjian jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN, yang memastikan kepastian pasar bagi listrik ramah lingkungan tersebut.
"FUTR menargetkan untuk mencapai skala bisnis energi nasional seperti pemain besar yang sudah berkiprah saat ini. Dengan dukungan aset strategis dan mitra global, kami optimis hal ini bisa diwujudkan dalam waktu tiga tahun ke depan," kata Anggara dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 22 Agustus 2025.
Selain panas bumi, Ardhantara juga tengah menjajaki peluang di sektor energi terbarukan lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), LPG hijau, hingga green methanol.
"Aset tersebut direncanakan akan dikonsolidasikan ke dalam FUTR untuk memperkuat posisi perseroan sebagai emiten energi terintegrasi," tegas dia.
(Ilustrasi transisi energi. Foto: dok Koaksi Indonesia)
Dukungan pemerintah kebut implementasi energi hijau
Di sisi lain, pemerintah juga menunjukkan keseriusan dalam transisi energi. Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menegaskan solusi transisi industri hijau dapat dicapai dengan pemanfaatan teknologi tepat guna.
"Saya yakin setelah diskusi dengan Menteri Perindustrian, ada solusi yang meringankan, terutama lewat teknologi baru yang relatif murah untuk menekan emisi karbon," ungkap Hashim.
Indonesia sendiri pasca-COP29 di Baku, Azerbaijan, meningkatkan target Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi 31,89 persen (tanpa syarat) dan 53,2 persen (bersyarat) pada 2030. Langkah konkret sudah berjalan, mulai dari pengurangan 5,5 gigawatt (GW) PLTU batu bara, restorasi 600 ribu hektare mangrove, hingga percepatan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) minimal 74 GW.
Kebijakan ini diperkuat lewat revisi Perpres 112/2022, pembentukan Bursa Karbon Nasional, serta regulasi teknologi transisi seperti hidrogen hijau dan carbon capture. Sementara, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, PLN menetapkan 76 persen pembangkit baru bersumber dari EBT. Infrastruktur juga didukung dengan pembangunan Green Super Grid sepanjang 48 ribu km serta penyimpanan baterai sebesar 3,5 GW.
Dari sisi pendanaan, skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD20 miliar kini mulai dieksekusi dengan Indonesia Investment Authority (INA) sebagai pengelola dana. Pemerintah juga memperkuat pembiayaan hijau lewat penerbitan SBN hijau hingga tiga kali setahun, memangkas cost of capital proyek EBT hingga 40 basis poin.
Tak ketinggalan, perdagangan karbon di bursa nasional semakin aktif. Dalam enam bulan pertama, tercatat lebih dari 130 emiten berpartisipasi dengan volume transaksi lebih dari 1 juta ton CO?e.
"Transformasi FUTR di bawah Ardhantara pun hadir di momentum yang tepat, di tengah dorongan pemerintah dan pasar global untuk mempercepat agenda
transisi energi Indonesia," ucap Anggara menambahkan.