Podium Media Indonesia: Lagi-Lagi Subsidi

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Lagi-Lagi Subsidi

Abdul Kohar • 8 October 2025 05:51

SUBSIDI di Indonesia selalu jadi bahan perbincangan dan diskusi hebat dari waktu ke waktu. Di negeri ini, subsidi diperbincangkan, terutama, dalam hal ketepatan sasaran dan untuk tujuan apa. Bukan pada soal perlu atau tidak. Kalau soal yang terakhir, hampir semua sepakat subsidi itu perlu.

Jadi, keraguan manfaat subsidi lebih kepada sisi kepercayaan. Sebagian ekonom dan kelompok kritis tidak percaya bahwa aliran subsidi dari pemerintah sudah tepat sasaran. Mereka ada yang curiga bahwa banyak subsidi dinikmati yang tidak berhak. Mereka yakin, sebagian subsidi, terutama subsidi langsung, punya tujuan politik, alih-alih menjaga daya beli.

Karena itu, dari waktu ke waktu, subsidi kerap dibahas dalam kerangka dilema: antara manfaat dan beban fiskal. Dalam penyaluran subsidi yang bocor, manfaatnya bagi publik jelas minim. Ia jadi mainan para pemburu rente. Yang kelihatan ialah sisi 'manfaat politik' dan beban bagi anggaran ketimbang untuk tujuan subsidi itu sendiri bagi rakyat.
 


Istilah 'beban fiskal' itu memang tidak pernah disebut secara langsung. Itu sensitif dan bisa memicu kemarahan publik. Namun, 'gestur' dan ucapan tidak bisa berbohong. Lihatlah, saban ada urusan kebutuhan anggaran negara untuk keperluan program baru, nyaris menteri keuangan selalu bicara kenaikan, bahkan pembengkakan, anggaran subsidi, khususnya subsidi energi. Itu bisa dimaknai bahwa cara berpikir kita memang meletakkan 'subsidi energi sebagai beban fiskal'.

Pada era awal pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada 2014, misalnya, gencar dibicarakan perlunya pengalihan subsidi energi untuk infrastruktur. Selain dinilai banyak yang salah sasaran, subsidi energi waktu itu disebut 'tidak mendidik', 'menciptakan ketergantungan', 'tidak tepat sasaran'. Bahkan, Presiden Jokowi mengkritik bantuan langsung tunai (BLT) yang gencar diberikan pada era sebelumnya.

Daripada untuk menyubsidi yang salah sasaran, begitu pidato para pemimpin pada tahun-tahun tersebut, uang subsidi energi lebih bermanfaat untuk membangun infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Tidak ada kata-kata 'beban fiskal' dalam narasi pengalihan subsidi itu, tapi nada tekanannya amat jelas mengarah ke mana. Penggunaan kata 'daripada' dan 'lebih baik' meletakkan subsidi pada 'beban fiskal' yang nyata.

Namun, pada akhir pemerintahannya, Presiden Jokowi 'menganulir' ide pengalihan subsidi itu. Pemerintahannya malah gencar membagikan bantuan sosial (bansos), nama lain untuk BLT, yang pada awal-awal pemerintahan yang ia pimpin dikecam habis-habisan.

Kini, subsidi, khususnya subsidi energi, gencar dibicarakan lagi. Pangkalnya dari pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat rapat kerja di DPR.

Pada rapat kerja bersama Komisi XI DPR, akhir bulan lalu, Menteri Keuangan memerinci harga asli barang-barang subsidi seperti pertalite hingga elpiji 3 kilogram (kg) sebelum selisih harga keekonomian dan yang dibayar masyarakat ditanggung pemerintah melalui APBN.

Tidak ada istilah 'beban fiskal' dari ucapan menteri yang dikenal blakblakan itu pada raker tersebut. Namun, tone yang dibawa Purbaya seperti hendak menjelaskan ada 'beban subsidi energi' yang mesti dibereskan.

Menkeu menyebut harga elpiji 3 kg yang asli ialah Rp42.750 per tabung, tetapi dijual ke masyarakat sebesar Rp12.750 per tabung, atau disubsidi sebesar Rp30 ribu (70%). Subsidi tersebut memakan anggaran Rp80,2 triliun pada APBN 2024 dan dinikmati 41,5 juta pelanggan. Purbaya juga menyoroti pertalite dengan harga seharusnya Rp11.700 per liter, dijual dengan harga Rp10 ribu per liter atau disubsidi Rp1.700 per liter (15%). Total anggaran untuk subsidi tersebut sebesar Rp56,1 triliun pada APBN 2024 dan dinikmati 157,4 juta kendaraan.

“Selama ini pemerintah menanggung selisih antara harga keekonomian dan harga yang dibayar masyarakat melalui pemberian subsidi dan kompensasi, baik energi dan nonenergi,” kata Purbaya.

Bahkan, data yang ia paparkan ihwal harga keekonomian elpiji 3 kg menuai polemik dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia. Bahlil menyebut Purbaya mendapat masukan data yang salah terkait dengan harga asli elpiji 3 kg. Purbaya berjanji akan mengecek lagi data itu. Bahlil juga berjanji memperbaiki data penyaluran subsidi 'gas melon' itu dengan segera menerapkan data paling mutakhir.

Bahlil mengakui data penerima subsidi elpiji masih dimatangkan, ketika merespons Purbaya soal tingginya subsidi elpiji. Kementerian ESDM menggandeng BPS sebagai upaya mematangkan data penerima subsidi elpiji agar tepat sasaran. Pematangan data penerima subsidi itu sudah disiapkan sejak awal 2025. Pematangan data serupa juga berlaku untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Dari polemik Purbaya-Bahlil itu terkonfirmasi dua hal sekaligus terkait dengan subsidi, yakni urusan tepat sasaran masih jadi soal dan pandangan bahwa subsidi energi 'membebani fiskal' memang hidup adanya. Jadi, tidak mengherankan kebijakan subsidi yang sejatinya perlu itu akan selalu dianggap 'beban fiskal' karena pemangku kebijakan tak kunjung mampu meghadirkan kepercayaan yang tinggi terkait dengan pengelolaan subsidi.

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Bila para pembuat kebijakan subsidi gemar membaca sejarah, ada baiknya buka lembaran kisah subsidi ketika Amerika Serikat (AS) dilanda depresi hebat ekonomi (great depression) pada 1930-an. Ketika itu, Presiden Franklin D Roosevelt memperkenalkan serangkaian kebijakan yang dikenal sebagai New Deal. Kebijakan itu mencakup program subsidi signifikan, terutama untuk sektor pertanian, sebagai upaya untuk meredam krisis ekonomi.

Subsidi menjadi salah satu cara utama pemerintah untuk mengatasi masalah surplus dan harga yang anjlok di sektor pertanian. Program-program utamanya meliputi Agricultural Adjustment Act (AAA) yang bertujuan menaikkan harga komoditas pertanian dengan mengurangi produksi.

Pemerintah memberikan subsidi kepada para petani agar tidak mengolah sebagian lahan mereka atau membantai hewan ternak. Program lainnya ialah membayar petani untuk menerapkan praktik konservasi tanah, yang bertujuan mencegah erosi dan meningkatkan kesuburan tanah. Juga ada subsidi dan program untuk industri serta pekerjaan melalui National Industrial Recovery Act.

Hasilnya, AS keluar dari depresi besar dan bangkit secara ekonomi kurang dari satu dekade. Mengapa bisa? Karena program subsidi lewat New Deal dijalankan dengan sungguh-sungguh, lurus, tepat sasaran, dan dapat dipercaya. Bila ingin mengakhiri polemik dilema subsidi, antara efektivitas dan 'beban fiskal', ya hadirkan kepercayaan dan jalankan subsidi secara lempeng.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)