Podium Media Indonesia: Kemerosotan Otak

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Kemerosotan Otak

Media Indonesia • 22 November 2025 06:25

HARI Anak Sedunia, yang diperingati tiap 20 November, kali ini mesti dijalani dengan keprihatinan. Itu disebabkan tren paparan kekerasan terhadap anak di bawah umur dan yang melibatkan anak-anak masih meningkat, terutama pada bentuk dan jenis kekerasannya.

Paparan kekerasan yang berasal dari peniruan dari media digital, baik media sosial maupun gim online, bahkan sudah menampakkan wujudnya dalam aksi nyata. Apa yang terjadi dengan ledakan di sebuah SMA di Jakarta, beberapa waktu lalu, ialah potret nyata dampak negatif media digital itu.

Dampak lain yang dalam jangka menengah dan panjang tak kalah 'mengerikan' ialah terjangkitnya brain rot, alias kemerosotan otak. Situasi itu muncul sebagai akibat penggunaan konten daring bermutu rendah dan memproduksi kekerasan sehingga dapat memicu penurunan kondisi mental dan intelektual seseorang.

Di mana letak mengerikannya? Anak-anak, karena kemampuan bernalar mereka belum matang, akan lebih intens dan berisiko tinggi terkena brain rot ketimbang mereka yang sudah dewasa. Tidak mengherankan banyak yang kian khawatir akan ancaman tersebut.
 


Diksi brain rot pun mendominasi percakapan dunia sehingga Oxford University pernah memilihnya menjadi World of the Year 2024. Hal itu menunjukkan isu 'kemerosotan otak' telah menjadi perbincangan dunia dan pembahasan yang mendalam dari berbagai pihak.

Sebagian kalangan menilai brain rot sebenarnya merupakan istilah usang. Ia sudah dipopulerkan Henry David Thoreau bahkan ratusan tahun silam. Kendati demikian, yang disebut usang itu mendadak menjadi sangat populer kembali, terutama saat Oxford University menjadikannya Word of the Year 2024. Istilah brain rot pun menyadarkan kita untuk bersegera mengevaluasi konten-konten receh dan mengumbar kekerasan, yang sadar atau tidak sadar dikonsumsi tiap hari oleh anak-anak dalam bahasa media sosial yang berada di luar kuasa pikir mereka.

Apalagi, pesatnya kemajuan teknologi yang hadir melalui gawai dan internet dengan berbagai fiturnya saat ini menjadi daya tarik bagi anak dan orangtua untuk berekspresi. Bukan cuma anak-anak, mak-mak dan bapak-bapak pun tak mau ketinggalan. Jangan heran bila muncul istilah 'jokes bapak-bapak', atau 'mak-mak eksis', ikut mendominasi algoritma medsos, bukti intensnya mereka (sebagian besar sudah nyandu) dalam bermain di dunia digital.

Kemudahan dalam mengakses bermacam informasi, tidak terkecuali informasi yang memuat unsur negatif, menciptakan 'ketersesatan di rimba digital'. Tidak adanya batasan antara ruang dan waktu dalam mengakses internet telah mengundang persoalan yang serius bahkan berbahaya pada anak, seperti masalah hoaks dan cyberbully (perundungan secara daring).

Dalam konteks pendidikan, penggunaan gawai di kalangan anak juga mulai layak disorot. Apalagi, pemerintah dan masyarakat kita memiliki aturan penggunaan gawai yang dalam beberapa hal menimbulkan dilema. Di satu sisi, penggunaan gawai didorong dalam konteks pemanfaatan teknologi dan transformasi digital. Namun, di sisi lain, ekses negatif dan bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak atas residu negatif penggunaan media digital tersebut belum memadai.

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Dalam pandangan ahli teknologi Jonathan Rosenberg, perkembangan penggunaan teknologi informasi dalam dunia pendidikan mengakibatkan terjadinya lima pergeseran dalam proses pembelajaran. Pertama, pergeseran pola dari pelatihan ke penampilan. Kedua, dari ruang kelas ke, di mana, dan kapan saja. Ketiga, dari kertas ke daring. Keempat, dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja. Kelima, dari waktu siklus ke waktu nyata.

Tawaran-tawaran teknologi gawai dan internet, ditambah lagi teknologi AI (kecerdasan buatan), yang 'menggiurkan' itu menjadi pijakan dan tren pemanfaatan teknologi informasi yang begitu masif di kalangan anak-anak. Namun, di sisi lain, penggunaan gawai dalam pendidikan di kalangan anak punya efek negatif tak kalah besar.

Hal itu dibuktikan dengan banyak temuan di beberapa survei. Indonesia Indicator melalui riset pada 2024 bertajuk Tren Kekerasan Digital pada Anak, mencatat sepanjang 1 Januari hingga 21 Juli 2024, kekerasan digital pada anak di Indonesia menjadi salah satu isu yang diperbincangkan netizen (warganet). Menurut survei itu, jumlah unggahan kekerasan digital pada anak di media sosial mencapai 24.876 unggahan dengan jumlah tanggapan lebih dari 3 juta engagement.

Riset tersebut juga menunjukkan kasus penipuan online terhadap anak menempati urutan kedua dalam top engagement netizen, dengan statistik mencapai lebih dari 900 ribu engagement. Yang mengejutkan, pedofilia menjadi isu kekerasan digital pada anak dengan engagement tertinggi ketiga, mencapai lebih dari 145 ribu. Sementara itu, judi online berada di posisi keempat dengan sekitar 65 ribu engagement.

Riset itu sejalan dengan kesimpulan Kementerian Komunikasi dan Digital, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), yang menyebutkan tren kekerasan terhadap anak cenderung menanjak dalam lima tahun terakhir.

Kondisi penggunaan gawai pada anak yang mengkhawatirkan itu sejatinya tidak cukup mengagetkan. Survei Pengasuhan Anak di Era Digital pada Masa Pandemi oleh KPAI (2022) mengonfirmasi bahwa sebagian besar anak (79%) diizinkan menggunakan gawai selain untuk belajar. Selain itu, sebanyak 71,3 % orangtua mengizinkan anak mereka memiliki gawai sendiri. Berbagai pemerhati pengasuhan anak mengkritik aksi permisif orangtua dalam penggunaan gawai itu sebagai 'tanda pola pengasuhan orangtua yang instan dan malas berinteraksi dengan anak'.

Karena hal-hal itulah, penting bagi negara untuk sesegera mungkin hadir dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak dari kemerosotan otak itu. Cara Australia menghadirkan perlindungan patut dicontoh. 'Negeri Kanguru' itu bakal melarang penggunaan media sosial bagi pengguna yang masih remaja, di bawah usia 16 tahun. Larangan total penggunaan medsos bagi remaja di bawah 16 tahun itu mulai diberlakukan 10 Desember 2025, atau sekitar tiga pekan mendatang.

Aturan yang bersifat mengikat tersebut menjadikan Australia sebagai negara pertama di dunia yang menetapkan batas usia minimum media sosial secara tegas dan disertai sanksi finansial besar bagi platform yang melanggar. Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari aturan yang tertuang dalam Online Safety Amendment (Social Media Minimum Age) Bill 2024, yang mewajibkan platform untuk memastikan tidak ada pengguna di bawah 16 tahun yang dapat baik membuat akun maupun tetap aktif di layanan mereka.

Pelanggaran atas aturan itu dapat berujung pada denda maksimum sebesar A$49,5 juta, atau setara dengan Rp544 miliar. “Tidak ada solusi sempurna dalam hal menjaga keamanan anak muda Australia saat daring. Namun, undang-undang usia minimum media sosial akan membuat perbedaan yang berarti,” kata Menteri Komunikasi Anika Wells pada Juli lalu.

Setiap anak berhak tumbuh tanpa ancaman kekerasan, eksploitasi, dan kemerosotan otak di dunia maya. Negara harus hadir untuk memastikan ruang digital menjadi tempat aman, inklusif, dan memberdayakan bagi seluruh anak Indonesia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)