Perundungan; Viral Dulu Baru Aksi

Perundungan (ilustrasi). Foto: MI/Seno

Perundungan; Viral Dulu Baru Aksi

20 November 2025 20:31

Oleh: Safriady*

Sebuah ironi yang kini semakin akrab dalam lanskap sosial Indonesia, perundungan baru dianggap persoalan serius setelah videonya viral, memakan korban, atau setelah luka fisik maupun mental sudah telanjur menganga. Barulah kemudian simpati mengalir, tagar memenuhi linimasa, institusi bergerak, pejabat berkomentar, dan janji perbaikan dilontarkan. Namun, di balik gelombang empati yang datang terlambat itu, tersimpan fakta getir bahwa budaya menormalisasi kekerasan di sekolah telah mengakar jauh sebelum kamera ponsel merekamnya.
 
Fenomena viral dulu simpati kemudian bukan sekadar gambaran perubahan perilaku masyarakat yang kian digital. Ia merefleksikan problem struktural, sekolah yang lalai, guru yang ikut terlibat atau memilih diam, birokrasi yang menutup diri, dan publik yang terbangun reaksinya hanya ketika visual kekerasan sudah kadung tersebar. Di ruang-ruang kelas, di lorong sekolah, di grup WhatsApp orang tua, hingga ruang publik, perundungan terus berulang seolah menjadi ritual gelap yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Babak-Babak Perundungan di Dunia Pendidikan Kita

Perundungan di sekolah Indonesia bukan fenomena baru. Namun, eskalasi kasus dan cara publik meresponsnya memberi gambaran bahwa kita sedang menghadapi lingkaran kekerasan yang belum terputus terutama ketika setiap aktor, mulai dari sekolah hingga masyarakat umum, hanya bergerak setelah tragedi.

Terbaru adalah peristiwa di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Video yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang siswa menjadi korban perundungan oleh teman sekelasnya. Setelah percobaan bom meledak di sekolah dan viral barulah pihak sekolah angkat bicara, kepolisian turun tangan, masyarakat menyerbu kolom komentar dengan simpati dan kemarahan. Namun, pertanyaan mendasarnya tidak pernah hilang, mengapa harus menunggu viral dahulu? Mengapa tak ada yang menghentikan kejadian itu? Kasus ini menunjukkan betapa seringnya perundungan dianggap bahan bercandaan atau bagian dari dinamika anak dan remaja. Baru ketika media sosial membuatnya tak terbantahkan, publik dipaksa untuk mengakui bahwa ada kekeliruan sistemik di ruang pendidikan kita.

Kasus lain yang memantik duka mendalam adalah perundungan yang menimpa seorang siswa SMP Negeri 17 Tangerang Selatan, yang akhirnya meninggal dunia. Tragedi ini bukan hanya akibat kekerasan fisik, tetapi juga konsekuensi dari kelalaian lingkungan sekolah dan ketidakseriusan menangani perundungan sejak tahap awal. Ketika nyawa telah melayang, barulah muncul investigasi, pejabat memberi pernyataan, sistem keamanan sekolah dibicarakan, dan publik bersuara lantang. Kematian seorang anak adalah titik paling tragis dari siklus abai yang terlalu panjang. Ketika seorang siswa meregang nyawa akibat bullying, itu bukan sekadar kegagalan sekolah, melainkan kegagalan kita sebagai masyarakat.
 
Situasi perundungan ternyata tidak mengenal batas jenis sekolah maupun label moral yang dilekatkan pada sebuah lembaga pendidikan. Realitas ini tidak hanya ditemukan di sekolah umum, tetapi juga di sekolah-sekolah Islam yang selama ini diidentikkan dengan pengajaran akhlak, adab, dan nilai-nilai religius. Banyak orang tua berasumsi bahwa dengan menyekolahkan anak di sekolah Islam, mereka otomatis memperoleh jaminan lingkungan yang lebih aman, lebih ramah, dan lebih peduli pada perkembangan emosional anak. Namun, sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa perundungan dapat muncul di ruang-ruang yang justru selama ini dianggap steril dari kekerasan sosial.

Dalam beberapa peristiwa, perundungan di sekolah Islam memiliki karakter yang berbeda. Ia tidak selalu hadir dalam bentuk makian, agresi fisik, atau pengucilan yang terang-benderang. Kadang perundungan datang dalam bentuk teguran moral, nasihat adab, atau koreksi perilaku yang dibalut bahasa religius, tetapi disampaikan dengan cara yang merendahkan martabat anak. Pada titik inilah terlihat adanya fenomena sensitif namun krusial untuk dibahas: praktik perundungan halus (soft bullying) yang dilakukan bukan hanya oleh siswa kepada siswa, tetapi juga oleh guru kepada murid.

Fenomena ini makin tampak dari cerita sejumlah orang tua yang menyekolahkan anaknya di salah satu sekolah Islam kawasan Mayestik, Jakarta Selatan. Sekolah tersebut berada di bawah naungan salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, sehingga reputasinya secara institusional cukup kuat. Para orang tua awalnya membawa harapan sederhana, anak mereka dapat tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang berfokus pada adab, empati, dan rasa aman nilai yang mungkin dianggap kurang menonjol di sekolah umum. Namun realitas yang mereka temui ternyata berbeda jauh dari ekspektasi awal.

Sejumlah kasus perundungan yang mencuat di sekolah tersebut justru menghilang tanpa jejak penyelesaian yang jelas. Modus yang kerap digunakan adalah memediasi anak korban dan pelaku untuk saling memaafkan. Setelah itu, kasus dianggap selesai tanpa ada penjelasan resmi kepada para orang tua, tanpa pemulihan psikologis bagi korban, dan tanpa pembinaan terukur terhadap pelaku. Pendekatan ini memberi kesan bahwa proses penyelesaian masalah dilakukan semata-mata untuk menutup perkara, bukan menyelesaikannya secara substansial.

Cerita lain dari para orang tua juga memperlihatkan bentuk soft bullying yang dilakukan sebagian guru. Ada guru yang secara halus memihak kepada pelaku perundungan, terutama bila pelaku memiliki kedekatan sosial dengan guru atau pihak sekolah. Laporan perundungan yang disampaikan ke pihak sekolah sering kali diperlakukan hanya sebagai gesekan biasa antaranak, dikecilkan skalanya, atau bahkan diabaikan. Dalam situasi tertentu, para guru menggunakan pendekatan moral yang tampak bijak tetapi sebenarnya menempatkan korban sebagai pihak yang kurang sabar, kurang menerima nasihat, atau dianggap terlalu sensitif.
 
Motif di balik sikap menghindar ini tidak terlepas dari kekhawatiran pihak sekolah terhadap reputasi lembaga. Ada ketakutan bahwa membuka kasus perundungan secara transparan dapat merusak citra sekolah Islam yang berbasis nilai. Selain itu, ada pula kekhawatiran akan terganggunya hubungan antar-guru dengan orang tua murid yang secara sosial memiliki kedekatan tertentu. Akibatnya, sejumlah laporan diredam, disederhanakan, atau dibiarkan berlalu tanpa tindakan korektif yang memadai.

Pola ini menciptakan lingkaran setan. Ketika kasus-kasus ditutupi dan para pelaku tidak mendapatkan sanksi atau pembinaan, muncul persepsi bahwa perilaku mereka aman dari konsekuensi. Mereka merasa dilindungi oleh sistem. Sementara itu, korban semakin kehilangan rasa percaya terhadap sekolah sebagai institusi yang seharusnya memberikan perlindungan. Hilangnya kepercayaan ini bukan hanya berdampak pada kesehatan psikologis anak, tetapi juga melemahkan rasa aman sosial mereka di masa tumbuh kembang.

Lebih jauh, dinamika seperti ini dapat menimbulkan efek domino. Ketika korban melihat bahwa laporan mereka tidak direspons secara adil, mereka belajar bahwa ketidakadilan adalah sesuatu yang normal. Ketika pelaku melihat tidak ada konsekuensi, mereka belajar bahwa kekuasaan sosial dapat digunakan untuk mengontrol orang lain tanpa risiko. Ketika guru tidak mampu menempatkan diri secara profesional dan objektif, lingkungan pendidikan kehilangan fungsi utamanya menjadi ruang aman bagi anak.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa persoalan perundungan tidak pernah semata-mata tentang individu pelaku dan korban. Ia sering kali merupakan masalah struktural - masalah tata kelola sekolah, kultur internal yang menoleransi kekerasan halus, serta ketidakmampuan lembaga untuk menegakkan mekanisme akuntabilitas. Dengan kata lain, yang perlu diperbaiki bukan hanya perilaku siswa, tetapi keseluruhan sistem respons sekolah terhadap perundungan.

Dengan hadirnya kesaksian orang tua dan pengalaman nyata para siswa, persoalan ini tidak lagi dapat dianggap sebagai isu kecil atau kasus insidental. Ia menuntut evaluasi yang lebih serius dan perubahan tata kelola yang lebih transparan, agar sekolah berbasis agama benar-benar mampu menjadi ruang belajar yang aman, bermartabat, dan mendidik sesuai nilai yang mereka ajarkan.

Perintah Negara Sudah Jelas

Dalam sistem pendidikan Indonesia, perlindungan terhadap peserta didik bukan sekadar tuntutan moral, melainkan juga kewajiban hukum yang melekat pada setiap satuan pendidikan. Negara telah menegaskan melalui berbagai regulasi bahwa sekolah memikul tanggung jawab penuh untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dari kekerasan, termasuk praktik bullying yang terus menjadi persoalan serius di banyak daerah.

Prinsip dasarnya tercantum jelas dalam Pasal 9 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Regulasi ini menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan di lingkungan pendidikan dari kekerasan maupun kejahatan seksual yang dapat dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama siswa, maupun pihak lain. Formulasi ini menempatkan sekolah sebagai ruang yang harus steril dari segala bentuk ancaman bagi keselamatan fisik dan mental peserta didik.

Penegasan tersebut diperdalam melalui Pasal 54 undang-undang yang sama. Di dalamnya ditegaskan bahwa anak baik yang berada di dalam kawasan sekolah maupun lingkungan sekitarnya wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, maupun bentuk-bentuk kejahatan lain. Tanggung jawab ini tidak hanya bertumpu pada guru atau tenaga kependidikan, tetapi juga aparat pemerintah dan masyarakat. Artinya, perlindungan terhadap anak merupakan mandat kolektif yang melibatkan seluruh ekosistem pendidikan.
 
Namun, secara operasional, sekolah adalah pihak yang berada di garis terdepan. Kelalaian untuk melakukan pencegahan atau pembiaran terhadap praktik bullying memiliki konsekuensi hukum yang tegas. Undang-Undang Perlindungan Anak khususnya Pasal 76C UU 35/2014 melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta dalam tindak kekerasan terhadap anak. Ketentuan ini tidak hanya ditujukan pada pelaku langsung, tetapi juga mencakup mereka yang mengetahui namun tidak bertindak, termasuk institusi pendidikan yang lalai atau menutup mata terhadap kasus kekerasan antarsiswa.

Konsekuensi atas pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 80 ayat (1). Sanksinya tidak ringan, pidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp72 juta. Ketentuan ini menegaskan bahwa pembiaran terhadap perundungan bukan lagi dianggap sebagai kesalahan administratif semata, tetapi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang menuntut pertanggungjawaban hukum.

Selain aturan dalam UU Perlindungan Anak, pemerintah telah mengatur lebih rinci peran sekolah dalam mencegah dan menangani bullying melalui Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Regulasi ini memperjelas mekanisme pencegahan, alur pelaporan, penyelidikan internal, hingga langkah pemulihan bagi korban maupun pelaku. Kehadiran aturan teknis ini bertujuan memastikan bahwa setiap sekolah memiliki standar operasional yang jelas dan tidak lagi bergantung pada interpretasi subjektif pihak sekolah.

Simpati, Fenomena Media Sosial Datang Terlambat

Di era digital, viralitas menjadi penentu apakah suatu kasus mendapatkan perhatian. Ketika sebuah video bullying tersebar, publik bereaksi cepat, komentar mengalir, kecaman muncul, dan simpati membanjiri. Namun simpati yang datang setelah kejadian itu terekam kamera, sebenarnya adalah refleksi betapa kita terlambat bertindak. Media sosial telah mengubah pola empati masyarakat ke dalam tiga bagian. Pertama, tidak ada video, tidak ada reaksi. Kedua, tidak ada viral, tidak ada desakan perubahan. Dan ketiga, tidak ada sorotan publik, tidak ada langkah konkret.

Akibatnya, perhatian terhadap korban lebih bersifat reaktif daripada preventif. Kita marah setelah melihat kekerasan, bukan saat kekerasan mulai mengintai. Kita bersimpati setelah ada luka, bukan ketika tanda bahaya pertama muncul. Kita menuntut keadilan setelah ada korban, bukan saat kultur perundungan sedang tumbuh di sekolah. Viralitas pada akhirnya menjadi alat yang ironis, terlalu sering menjadi satu-satunya mekanisme kontrol sosial yang efektif, justru karena institusi pendidikan kita belum mampu mengatasi akar permasalahan secara mandiri dan transparan.

Budaya Diam di Lingkungan Sekolah

Salah satu penyebab mengapa perundungan berulang adalah adanya budaya diam. Banyak siswa takut melapor karena takut dicap pengadu, takut diserang balik, atau takut dianggap lemah. Banyak orang tua tidak menyadari perubahan perilaku anak karena sibuk atau kurang komunikasi. Banyak guru enggan bertindak karena khawatir dianggap ikut campur, atau karena mereka sendiri belum mendapat pelatihan mengenai penanganan bullying.

Sekolah pun kerap memandang perundungan sebagai konflik anak-anak, bukan sebagai kekerasan. Padahal perundungan tidak pernah setara dengan konflik. Konflik terjadi antara dua pihak yang seimbang, sementara perundungan adalah relasi kuasa yang timpang. Siswa yang lebih kuat, lebih populer, atau lebih dominan akan mengeksploitasi kelemahan korban baik fisik, emosional, maupun sosial.

Dalam konteks kasus Mayestik, budaya diam bahkan diperkuat oleh hierarki otoritas. Ketika guru atau pihak sekolah menjadi pelaku atau penyangkal, suara korban menjadi semakin kecil. Apalagi jika institusi di balik sekolah itu memiliki pengaruh besar dan reputasi kuat. Di titik ini, keluarga korban mudah terintimidasi, dan kebenaran mudah diredam.

Perundungan tidak akan hilang dengan simpati yang datang terlambat. Ia hanya akan hilang jika kita mencabut akarnya, memutus lingkaran diam, dan membangun kultur pendidikan yang benar-benar aman. Viralitas seharusnya tidak menjadi syarat bagi keadilan. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan, bahkan ketika kamera tidak menyala.

*Penulis adalah pemerhati isu strategis 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)